Senin, 21 September 2015

Karena Cinta tak kan Pernah Jauh

Disela-sela merapikan kulkas yang isinya penuh dengan macam-macam buah. Nyokap gue tiba-tiba datang dengan membawa sekranjang apel fuji berwarna merah kekuning-kuningan yang telah ia cuci. Beberapa hari ini rumah gue banyak kedatangan tamu, soalnya bokap gue sendiri habis kecelakaan. Ditabrak orang yang tidak bermartabat, sampai tulang rusuknya retak. Ada juga beberapa jahitan diplipis mata sebelah kanan dan bagian kepala depan dan belakang. Bokap gue memang sempat dirawat inap dirumah sakit selama 4 hari. Dan sekarang, selama bokap belum masuk kerja, banyak orang yang berdatangan untuk menjenguk. Lalu gimana orang yang nabrak bokap gue? Si Kampret cuma bisa kabur. Gue menahan emosi ketika membayangkannya lagi.



"Kemarin, pas bapak kecelakan. Kamu gak ngabarin dia ya?" tiba-tiba Nyokap gue bertanya sambil memasukkan apel fujinya ke dalam kulkas.

"Iya mah, kok tahu?" tanya gue.

"Kalo dia tahu, pasti dia nyempetin diri untuk jenguk bapak mu," jelas nyokap. "Kalian masih berhungan baik kan?"

"Masih kok masih," sahut gue. "Kemarin aku sungkan bilangnya. Takut bikin dia khawatir."

"Anak cowok sekarang memang suka gengsi, ya. Kayak bapakmu. Kalo butuh apa-apa selalu ditahan sendiri. Padahal maunya kamu, dia jenguk bapak kan."

Gue nyengir. Membenarkan dalam hati.

"Sekuat-kuatnya laki-laki. Dia juga bakalan lemah didepan wanita yang dia sayang. Segalak-galaknya bapak kamu dikantornya. Di depan Mama, dia gak bisa apa-apa. Iya kadang bapak kamu suka ngambek. Tapi gak pernah lama. Hatinya selalu luluh di depan mama."

Lagi-lagi gue membenarkan apa kata nyokap dalam hati.

"Terus sekarang dia dimana, dirumah apa dikosan?"

"Kalo gak salah dia lagi naik gunung, mah, bareng temen-temennya," jawab gue sambil membantu nyokap merapikan apel yang ada di dalam kulkas.

"Bagus-bagus, pas banget," kata Nyokap gue girang. "Kalo gitu, kamu bawa beberapa buah sama kue, ya, kasihin ke dia. Orang naik gunung pasti keluar banyak tenaganya. Dia harus fit lagi."

"Tapi mah," gue mencoba menolak. Sementara nyokap sudah memasukkan beberapa apel dan jeruk ke wadah.

"Aku bingung gimana ngasihinnya," jelas gue, gugup.

"Tinggal dikasihin aja. Emang apa susahnya?"

"Susahlah mah, ntar akunya ganggu dia pas istirahat."

"Ya ngasihinnya jangan malam-malam."

"Taaapiii maaaah?!"

Nyokap tidak mendengar pembelaan gue, dia hanya mengerling kecil. Gue menatap nyokap berlalu meninggalkan gue dengan wadah berisi buah.

---

Sepulang latihan, gue mengirimkan 3 pesan untuknya. Karena gue gak mau, datang tiba-tiba lalu diteriaki maling kutang sama dia. Gue meminta izin untuk datang ke tempatnya. Dia membalas dengan baik.

Sewaktu gue bertemu dengan dia, tatapan gue untuknya tidak pernah berubah. Gue masih sayang dia. Karena gue datang mengenakan masker, dia meminta gue untuk melepasnya. Karena ada temennya, gue jadi sungkan. Gue gak mau nampilin wajah menyedihkan ini dihadapannya.

Tapi gue bahagia sekali. Ketika gue bertemu dia, gue bisa melihat kebahagiaan dan kehangatan dari dalam matanya. Gue belum pernah melihat wanita secantik dan selembut dia. Ya, bagi gue. Melihat dia lagi bisa membuat gue jatuh cinta seperti awal kami bertemu. Gue masih menyukainya.

Dalam hati, gue mulai meyakinkan diri. Gue harus jadi hebat untuk dia apapun yang akan terjadi nanti. Gue tahu dalam ucapannya yang dingin, ada perhatiannya yang besar. Gue tahu itu. Karena kami pernah saling mencintai untuk saling merelakan.


Aku Kehilangan Kamu Seperti Kehilangan Sosok Seorang Ibu

Dalam hari ku mengejar kamu, aku merasakan kesepian yang sangat dalam. Aku seperti kehilangan sosok yang mencintaiku sedari dulu. Aku kehilangan kamu seperti kehilangan sosok seorang Ibu. Orang bilang cinta itu tidak buta, kadang ia salah melihat. Lalu bagaimana dengan kamu yang mencintai ku tanpa pernah melihat bagaimana sosok ku dulu. Dulu, kamu memberikan aku kesempatan untuk mencintaimu, di antara banyaknya kekurangan. Kamu memberikan aku kesempatan untuk memahami kamu. Meskipun kenyataannya aku gagal. Di tengah perjalanan aku yang tidak paham.

Aku pernah peduli dengan beberapa wanita, tapi kenyataannya, mereka yang datang tidak sehangat kamu. Yang mereka pikir adalah bahagianya. Sementara kamu tidak. Kamu selalu mempertimbangakan mana yang baik dan buruk untuk ku. Mana yang bisa aku lakukan dan mana yang belum bisa aku kerjakan terlebih dulu. Kamu percaya, dengan aku disamping kamu, aku sanggup membahagiakan kamu. Kamu memberikan aku banyak kesempatan. Lagi, lagi dan lagi. Sementara aku tidak memanfaatkannya dengan baik. Sekali lagi aku gagal.

Kamu juga mempersilahkan dirimu untuk memahami aku. Apa mau ku, kamu mencoba mengerti. Jika kamu tidak paham, kamu akan menyendiri, setelah itu, kamu akan mencintaiku sekali lagi. Aku sangat bisa merasakan, betapa kehilangannya aku tanpa kamu. Betapa pentingnya kamu untuk hidupku yang kosong.

Kehilangan kamu seperti kehilangan sosok seorang Ibu. Aku masih ingat beberapa pakaianku yang berserakan diatas tempat tidur, lalu kamu mulai membereskannya. Atau beberapa gelas dan piring yang lupa aku cuci, lalu kamu dengan senang hati menawarkan diri untuk membersihkannya. Bahakan kamu sempat protes dengan gantungan bajuku yang melebihi isi lemari. Kamu juga marah, karena gantungan bajuku menggantung diatas tempat tidur. Tidak nyaman dipandang dan mengganggu tidur. Mereka yang peduli akan diri sendiri tidak akan berpikir sampai disitu. Sementara kamu, mengomel seperti Ibu.

Kamu adalah makhluk paling ajaib. Suka mengganggu tidurku, jika aku merindu. Badan sudah setengah rebahan, mata mulai terpejam, tiba-tiba kamu datang dalam ingatan dan memeluk ku lebih dalam. Hangat. Aku tidak akan pernah lupa bagaimana pelukan kamu dulu. Aku tidak pernah merasakan hangat seperti pelukan Ibu, hanya kamu yang bisa memberikan itu semua. Hanya kamu, yang tatapannya sanggup, sedalam dan selembut tatapan seorang Ibu. Hanya kamu, yang senyumannya membuat aku sabar dan terus menunggu.

Kehilangan kamu seperti kehilangan sosok seorang Ibu. Bagaimana aku tidak bersedih. Bagaimana mungkin aku tidak menangis. Aku kehilangan sosok yang menyayangiku sangat dalam. Cintanya membekas sampai dasar hati. Cintanya mengayun-ayun lembut di seluruh rongga tubuh. Bahkan darah yang bergerak lembut dari jantung ke nadi adalah karena kamu yang mengusap pipiku dengan manja. Aku masih menginginkan senyuman tipis diwajahmu. Aku masih menginginkan kamu yang mencintaiku layaknya anak kecil. Aku masih mengharapkan kamu, yang hanya dengan berkedip aku sanggup menjadi apapun, dan siapapun di Dunia ini.


Karena kamu merubah duniaku. Kamu-lah orang itu “N”.


Jumat, 11 September 2015

Rein

Ruang hampa tanpa warna. Sosok mungil itu menyapa gue lagi. Senyum tipis terlihat dibibirnya, tangannya mengayun kedepan, memanggil. Gue berjalan ke arahnya seperti bayi. "Rein..." kata gue pelan. Rein meminta gue duduk didepannya. Gue langsung menyilangkan kaki dibawah lantai. Gue tatap matanya dalam-dalam. Kali ini dia tersenyum hangat.

Gue memeluk Rein erat. Gue percaya, pelukannya dapat menyembuhkan kesedihan. "Tidak apa-apa," Rein berbisik pelan. Tiba-tiba dia mengeratkan pelukannya, gue merasakan sesuatu dipunggu gue. Sesuatu yang menancap perlahan.

Bahu gue tiba-tiba hangat, cairan kental berwarna merah mengucur dari balik bahu. Rasa sakit dan rindu memenuhi setiap helaan napas. Gue tidak peduli bagaimana rasanya. Selama aku bersama kamu. Gue baik-baik saja.

Gue merasakan Rein semakin erat menancapkan benda itu. Cairan kental berwarna merah tumpah ruah ke lantai. Gue tidak merintih. Namun rasa sakitnya semakin kuat. Semakin dalam.

Gue terkulai lemas.
..
Napas gue semakin sesak. Sesak.
..
Paru-paru gue seakan meledak.
..
..
..
Drrrrrrr Drrrrrrr Drrrrrr.
Hhhhh... Mimpi itu lagi. Entah berapa puluh kali dalam dua minggu ini. Setiap hari hanya alarm yang menampar gue secara kasar. Tidak apa-apa Rein, tidak masalah, karena mati di depan orang yang kita sayang tidak lebih menyakitkan dari kesepian. Ini jauh lebih baik Rein, tancapkan saja. Selama aku bisa memeluk kamu lebih erat. Aku tidak apa-apa.


Cuma Bisa Nangis Lagi, Lagi dan Lagi

Malam ini aku kepikiran kamu lagi. Galau lagi. Jadi bego lagi. Lagi lagi cuma bisa diam. Diam diam nyesek, diam diam nangis. Tentu aja semuanya dalam diam. Entah berapa batang rokok lagi atau cairan kotor lagi. Supaya bisa tidur normal lagi. Setiap malam mesti gini. Gak boleh ngeluh ke kamu. Kamu gak suka. Kamu gak suka dipaksa. Dari dulu juga gitu. Aku juga gak mau kamu tahu, dalam diam aku cuma bisa nyesek sendiri.

Baru tadi aku papasan sama kamu udah kangen lagi. Jadi baper lagi. Ya ngeliat posisi kamu yang udah nyaman sendiri. Aku gak bisa apa-apa lagi. Rasanya sakit setengah mati. Percuma hingar bingar dipasar. Ini bukan AADC, atau sinetron yang endingnya pasti bahagia. Nyoba untuk ngeyakinin diri sendiri. Kamu gak mau sama aku. Tapi gak sampai hati. Aku emang bego. Masih maksa diri. Padahal kamu yakin, orang pacaran gak mesti jodoh. Terus jodoh itu apa? Siapa? Gimana deskriptifnya? Detailnya? Fiuh. Aku sayang kamu lagi, lagi, dan lagi.

Dari pagi siang sore sampai malam pun udah nyari kesibukan. Udah disibuk sibukin masih aja capek hati. Lagi goblok kayak gini gak tahu mesti ngapain. Cuma bisa nulis ngawur kemana-mana. Rasanya sakit setengah mati. Aku gagal paham sama apa, namanya.. sakit hati?! Iya deh itu. Atau apalah. Cuma bisa nulis ini kalo suatu ketika kamu tersesat dan baca sepersekian detik. Senyummu kebahagianku. Ngomongku ngaco. Mungkin aku udah masuk tahap gila.

Ngilangin kamu dari kebiasaan setiap hari. Aku sakit lagi. Sialan. Emang cuma bisa ngumpat sana sini sama diri sendiri. Sok nyibukin diri. Padahal kesepian. Kasihan sekali tubuh ini. Kalo udah bisa ngomong mungkin tubuh ini gak mau gabung sama jiwa lembek ini. Kalo tangan kaki kepala bisa ngomong mungkin udah ngeluh banyak. Lagian kenapa juga tubuh ini sial dapat jiwa busuk ini. Bego!

Cuma malam dan sepi. Semuanya bisa tidur dengan nyenyak. Gak kepikiran apa-apa, kayak gak ada masalah. Emang sih hidup cuma enak ngeliatnya daripada ngejalaninya. Cuma aku ya pengen bahagia, tapi lewat apa. Aku bingung sendiri. Dan lagi, sama seperti malam yang sepi. Aku masih patah hati. Aku mau kamu lagi.

Garuk-garuk kepala kemudian diam. Bingung mau nulis apa lagi. Kemungkinan terburuk adalah gak bisa tidur sampai pagi. Tidurpun pasti mimpi kamu lagi. Sama aja. Nanti aku ngarep lagi, tapi kamunya malah semakin jauh. Ah sepi.

Ini malam keempat belas tanpa kamu. Rasanya udah kayak 6 juta tahun. Padahal kamu ada. Harusnya aku tinggal bilang. "Aku kangen sama kebiasan kamu balas Line, BBM atau SMS kamu lagi." Kan udah putus, ya jelas gak bisalah. Otak bisa mikir baik-baik. Tapi kenapa hati gak bisa. Hati emang suka lembek. Malu lah pamer kesedihan sana sini. Tapi emang sih rasanya kehilangan. Lalu apa yang bisa aku lakuin?

Nangis lagi... dalam sepi.



Selasa, 08 September 2015

Yang Bisa Dilakukan Manusia Adalah Berharap


Kamu bilang kita bisa jadi teman, lalu kenapa kamu menjauh. Kamu bilang semuanya pasti akan baik-baik saja, lalu kenapa kamu menghilang? Aku sedang tidak dalam keadaan baik atau berpura-pura terlihat baik. Aku hanya butuh kabar dari kamu. Apa salah, orang yang sayang sama kamu ini tahu kabar dari kamu. Kenapa kamu berubah secepat ranting yang jatuh dari pohonnya?

Kenapa kamu acuhkan aku tidak sebagaimana mestinya. Lihat usahaku untuk kamu, apa sekurang itu? Apa yang kamu butuh tolong katakan. Apapun itu baik buruknya aku bisa usahakan. Apa kamu nggak melihat bahwa bahagiamu juga aku butuhkan? Jangan lari dari ku untuk seseorang yang baru, aku masih belum bisa terima. Rasa sakit ini belum selesai aku obati, tolong jangan tambah aku dengan luka baru lagi. Cukup ada buat aku sampai aku lupa caranya mencintai kamu meski itu mustahil akan aku coba lakukan.

Aku masih ada disamping kamu, mencoba melupakan kamu dengan susah payah. Atau aku memang tidak ada niatan untuk melupakan kamu. Kamu bilang baik-baik saja. Seperti apa keadaan yang baik itu? Aku bahkan lupa caranya tertawa, tidur nyenyak tanpa dihantui mimpi buruk, atau sekedar mengunyah nasi satu kali dalam sehari.

Yang bisa aku lakukan hanya meratab, merenung, menangis, berteriak dalam diam, dihantui rasa bersalah. Kematian, adalah harapan paling jujur yang aku mau setelah kita putus.

Lihat aku, apakah aku tampil lebih bahagia ketika kamu tidak ada. Apakah aku tampil lebih hebat ketika kamu pergi. Lihat aku dengan mata sayupmu, apakah aku baik-baik saja, sementara tatapan mu yang aku butuhkan untuk baik-baik saja.

Kenapa kita tidak mengulang perasaan kita, merestart dari awal dan saling mencoba memahami lagi. Tidak ada yang salah dari kegagalan Rein. Semuanya butuh kegagalan untuk tahu kelemahan masing-masing, kita hanya butuh saling memahami untuk menyatukan, bukan untuk memisahkan. 

Waktu, takdir, segalanya tidak ada yang salah. Kamu bilang kita berdua memang salah. Lalu kenapa kita tidak saling memaafkan. Kenapa kamu melukai orang yang butuh kehadiran kamu. Kamu berjanji untuk mencoba semuanya. Apa aku kurang meyakinkan. Apa aku kelihatan setengah-setengah. Apa aku mencoba menjadikanmu, pelarian?

Lihat usahaku, Rein. Tatap mataku. Jangan diam, jangan bungkam, aku sedang butuh perhatian mu atau aku akan mati dalam kesepian. Dalam keheningan ditengah keramaian. Atau banyaknya dukungan yang tidak aku butuhkan. Sadarlah sayang, yang aku butuhkan hanya kamu. Dalam penat yang merobek hati, dalam jenuh, bosan, menunggu, atau hal menyakitkan, seperti pisau tajam yang menusuk disetiap sendi. Jiwa ini merindukan kamu. Kembalilah perlahan. Kita usahakan semuanya dari awal lagi. Aku janji salahku tidak akan sama. Aku janji akan melindungi kamu sekuat tenaga. Aku tidak akan membuat kamu tergores atau terluka lagi. Mari saling memaafkan. Mari saling mencoba semuanya dari awal. Sampai saat itu tiba, tolong lihat usahaku.

Saat ini aku tidak pernah merasa baik-baik saja!


Kamis, 03 September 2015

Patah Hati Sendirian


Aku patah hati sendirian. Ditengah banyaknya dukungan. Aku tetap nggak bisa pindah. Aku masih yakin kalo aku bisa sama kamu. Kenyataannya emang pahit. Tapi seharusnya nggak sepahit ini kalo aku nggak jatuh cinta sendirian.

Aku patah hati sendirian. Seperti kenyataan yang belum bisa aku terima. Logikaku gagal paham, dimana salahnya aku jatuh cinta. Semua yang aku lakukan hanya ingin membuat kamu berkesan.

Aku patah hati sendirian. Kita hanya sedikit berbeda. Kamu nggak perlu takut untuk bicara. Jarak kita hanya 800 meter. Kita bisa perbaiki semuanya. Bukan memutuskan. 

Aku patah hati sendirian. Bukan aku nyalahin kamu. Tapi aku menunggu kamu bilang kalo kita adalah sepasang kekasih. Aku nggak mau hidup diantara orang-orang yang nggak tahu siapa aku dihidup kamu.

Aku patah hati sendirian. Menunggu kepastian untuk juga diperjuangkan. Kita mungkin bisa jatuh cinta dengan mudah. Tapi kita tidak bisa melupakan dengan mudah. Kita akan patah. Mencoba untuk jadi teman yang sesungguhnya menyakitkan. Aku sudah nyoba dan aku gagal. Aku nyerah ngelupain kamu. Aku berjuang sendirian.

Aku patah hati sendirian. Biarin aku keliatan menyedihkan. Aku emang pantas menangis sendirian. Menangis, meraung sudah aku jalani. Sakit hatinya nggak bisa hilang.

Aku patah hati sendirian. Nyoba ngelupain kamu tapi malah sakit sendirian. Nyoba nggak hubungi kamu malah ngerengek tiap malam. Nyusahin kamu yang juga belajar ngelupain aku.

Aku patah hati sendirian. Menangis tengah malam. Tidur tengah siang tanpa makan tanpa minum. Aku tanding habis-habisan. Berharap aku patah tulang atau patah pinggang. Biar dapat ibamu lalu kamu kasihan.

Aku patah hati sendirian. Ngerasain sakit setiap ingat kamu. Aku tahu kamu juga kesepian ditengah keramaian. Kenapa kamu nggak bilang. Aku menunggu kamu kembali. Aku lupa kamu juga sungkan. Akunya yang nggak bisa paham.

Aku patah hati sendirian. Berusaha diterima dikelompokmu dan dibutuhkan mereka. Tapi nggak pernah bisa. Aku ingin jadi pacar yang berguna bukan menyusahkan.

Aku patah hati sendirian. Aku memang banyak bicara. Menulis kata perkata agar semua orang paham. Kita ngejalani cinta dibelakang mereka setragis ini.

Aku patah hati sendirian. Belum berusaha sebanyak mungkin tapi telah berpisah. Aku pantas dilupakan. Dilupakan tanpa ditaruh diingatan apalagi perasaan.

Aku patah hati sendirian. Semudah aku menatapmu. Karena kamu menyempurnakan. Kamu memberikan kesan. Hanya harapan dan waktu yang nggak iba melihat dua anak manusia jatuh cinta. Untuk itu Tuhan memutuskan.

Aku patah hati sendirian, untuk itu aku dilahirkan menjadi seorang pembangkang yang berjuang mati-matian. Aku nggak percaya dengan takdir, takdir itu jahat.

Aku patah hati sendirian. Ingin diakui agar suatu saat nanti ketika kamu merasa kesepian kamu masih ingat aku untuk pulang. Mengingat aku sebagai mantan.

Aku patah hati sendirian dan memang selayaknya untuk dinikmati sendirian. Kamu lebih pantas bahagia sementara aku lebih pantas kesepian.


Rabu, 02 September 2015

Aku Tidak Ingin Menyerah Atas Kamu


Selamat pagi mungil. Aku menulis ini menjelang subuh kemarin. Dimana bibirku tercekat dan lelah mengeluh, tanganku masih bisa mencurahkan segalanya.

Udara subuh dingin yang penat, membuat mataku masih terjaga. Dari sulitnya tidur sampai mimpi buruk disetiap malam. Pikiranku enggan beristirahat, semua jiwa ini masih memikirkan kamu. Lelah.

Bagaimana harimu? Aku ingin menayakan langsung, tapi entah kenapa tanganku kehilangan keberanian untuk mengirimkan satu pesan. Aku takut kamu acuhkan, aku takut kamu marah, lalu menghilang. Aku pasti kesepian. Lara yang tersimpan pasti akan keluar lewat air mata. Menyedihkan. Semuanya jadi semakin buruk. Aku menjadi takut untuk bertegur salam dan sebagainya.

Rasa takutku sudah sebesar rinduku. Bibir ingin mengucapkan langsung, tapi entah apa yang aku tunggu. Kepastian dan pengharapan. Kepastian pada sebuah kode singkat. Dan harapan kamu akan menjadi kita lagi.

Adzan subuh berkumandang. Dua gelas kopi yang menemani malam tadi telah habis ku minum. Rasa pahit kopinya, sepahit pepatah cinta tak bisa memiliki. Pepatah kuno yang saat ini masih aku bangkang. Aku tidak percaya. Aku masih berusaha.

Aku melihat kesekeliling. Beberapa putung rokok berceceran. Abu bekasnya berhamburan tertiup angin. Lalu aku membakar satu batang lagi. Menemani mata ini yang tak kunjung merasakan kantuk. Di waktu subuh ini, semuanya terasa asing. Kebiasaanku membangunkanmu setiap pukul 5 pagi jadi menghilang. Balasan pesanmu yang menyapa selamat pagi telah tiada.


Aku bingung. Pandanganku kabur. Otak ku tidak sanggup berpikir. Aku ingin tidak menyerah atas kamu. Tapi apa kamu bisa terima? Apa kamu akan paham kenapa aku tidak menyerah atas kamu?

Aku tidak sanggup berpura-pura bahagia, hatiku tidak sudi dibodohi. Aku hanya tegar didepan yang lain. Aku tidak bisa tegar didepan kamu. Jujur aku ingin kamu kembali.



Selasa, 01 September 2015

Rein- Gadis Mungil Bermata Teduh

September 2015

Beberapa hari ini tulisanku mulai mendayu. Setelah putus dari kamu semuanya mulai berubah. Aku bukan seseorang yang seperti dulu. Karenamu aku menjadi seseorang yang bukan aku. Dibalik tubuh kurus ini tersimpan nama mu. Aku menulis ini bukan meminta belas kasihmu atau rasa ibamu. Aku mencintaimu bukan untuk dikasihani. Aku mencintaimu karena aku belum mau berdamai dengan masalalu. Jadi biarkanlah begitu. Sampai aku putus asa padamu. Biarkan ini berlalu dengan sendirinya. 

Rasa maluku memang tak sebesar rasa sayangku. Aku berharap lebih banyak padamu. Menatapmu dari jauh lalu mendoakanmu agar kembali padaku. Entah sampai kapan aku akan jadi manusia pengeluh yang terus menyusahkanmu. Yang aku mau hanyalah kamu. Kamu yang dulu, orang yang masih mau bersamaku. Meskipun kita berdua tahu, salah satu dari kita akan merasakan sakit. Egois, manusia memang seegois itu.

Mungkin kita tidak akan sama seperti dulu. Masa lalu memang hal paling busuk, menyakitkan untuk diingat. Kamu pernah bilang padaku. Kita tidak pernah saling paham. Kita tidak saling mengerti. Percuma kita bersama. Daripada saling menyakiti. Lebih baik kita berhenti usaha dan jalani masing-masing.

Fiuh. Akhirnya aku berhenti melukaimu. Maaf. Tapi aku patah hati. Hatiku tidak sekuat yang kamu pahami. Aku lemah tanpa kamu. Lemah tanpa kebiasan dari kamu. Aku butuh kamu.

Bahuku semakin lama terasa semakin berat. Semakin lama rasanya semakin penat. Aku ingin mundur dan menghajar waktu. Lalu aku bisa berandai-andai. Seandainya aku ketemu kamu dulu. Aku tidak akan sejahat itu.

Lagi-lagi hanya bisa menyalahkan waktu, seperti pecundang yang kehabisan akal. Tak tahu harus kemana. Tak mau tahu untuk berhenti. Kini aku mulai lebih banyak mendoakanmu. Membiarkan semuanya mengalir apa adanya sambil terus mencintaimu tanpa takut sia-sia.