Kamis, 19 Mei 2016

Kayuhan Sepeda Tua (part 3)



Pukul 3 sore.
.
Teman-teman gue sudah pulang duluan dari jam 1 tadi karena ada mata kuliah yang harus diikuti. Tentu saja gue membolos lagi. Haha, gue tertawa pahit. Gue menghisap satu batang rokok dengan duduk di depan jalan raya. Gue melihat motor dan mobil berlalu lalang dengan cepat. Hari ini gue juga izin ngelatih, ada banyak pekerjaan di DPRD, tutup tahun artinya banyak laporan yang harus diarsipkan untuk membuka pembukuan baru di tahun depan.
.
Fiuh.
.
Rasanya lelah, batin gue.
.
Ketika gue mau pulang, gue mencari kunci sepeda motor dikantung celana, gue mencari di dalam tas. Gak ada. Gue mendengus, siapa yang harus gue hubungi. Batrai di hape tinggal 3%. Gue menghela napas. Dosa apa lagi gue. Gue melihat isi dompet, tinggal 20 ribu.
.
"Pak saya titip motor saya, ya. Kunci motor saya hilang," kata gue kepada bapak Satpam.
.
"Iya dek, gak papa. Tapi tadi dikunci stang gak?"
.
"Iya sudah kok pak. Kalo gitu saya pulang dulu ya pak. Mari."
.
"Iya dek, hati-hati."
.
Gue berjalan kaki dengan lemas. Almamater gue pegamg seadanya, tas menggantung tak karuan. Uang 20 ribu gak akan cukup untuk naik taxi. Hape ditangan sudah mati. Sial, sial, sial. Entah karma apa yang barusan gue dapat.
.
Sebelum kembali ke kosan, gue berniat untuk makan. Dari tadi pagi gue belum sarapan. Gue berhenti di warung belakang kampus. 
.
"Pak saya pesan nasi bungkus pakai telor, 2."
.
Gue membayar 16 ribu. Untung cukup. Kamu pasti belum makan. Dasar bodoh, kenapa harus membelikan dia. Ah sudah lah. Terserah dia mau makan atau tidak.

Rabu, 11 Mei 2016

Kayuhan Sepeda Tua (Part 2)


Tiba-tiba dia mengambil kecap di depannya. Gue menjaga jarak, pikiran gue kemana-mana. Jangan-jangan gue mau di siram pakai kecap gara-gara nembaknya maksa. Uh. Gue menghela napas. Deg-deg kan.

"Huh, hah." Kata dia. "Baksonya pedes." Dia mengalihkan pembicaraan. Gue mendengus.

"Kirain apa!" Kata gue stres sendiri.

Lagi-lagi dan setiap kali gue ngebahas masalah tentang kita, dia masih selalu mengalihkan pembicaraan. Dia masih sama seperti yang dulu. Gue tersenyum pahit.

Selesai makan, kita berdua pulang. Tak ada perpisahan yang romantis, nembak secara maksa buat dia nggak ngaruh. Hati gue berantakan.

Sampai dikosan, gue langsung merebahkan badan di kasur. Bahu gue pegal, otok leher  gue berasa ditarik. Kayaknya kali ini gue emang harus nyerah, gue sudah kehilangan harapan untuk mengejar dia lagi.

Gue akan pindah. Pindah sangat jauh dari hatinya yang dingin.
.
KE ESOKAN harinya gue menjalani rutinitas seperti biasa. Karena gue sedang magang di DPRD Surakarta, gue jadi punya kegiatan sebelum berangkat ngelatih Bulutangkis sore harinya. Orang bilang, cara paling tepat untuk melupakan seseorang adalah mencari kegiatan. Kegiatan yang bisa bikin kita lelah. Kegiatan yang bisa bikin hati kita lelah.

Tentang dia, entahlah, gue sedang gak mau ngebahas tentang dia, gue sedang mencoba menguburnya jauh sampai dasar. Di depan gue mesin foto copyan menyala dengan kertas yang keluar dengan rapi. Temen gue Ali, menepuk pundak gue. "Kenapa lagi? Ngelamun mulu."

"Eh enggak," kata gue sambil membereskan foto copyan yang hampir selesai.

"Gak usah bohong, jujur aja. Masih kepikiran dia?" Tanya Ali sotoy.

"Enggak kok."

"Kalo masih ngejar juga gak papa. La gimana, udah bbman atau teleponan belum?"

"Kontaknya kan masih gue delkon. Instagram juga masih gue blok." Gue menghela napas. Emang sih kami berdua sudah berbaikan. Tapi berbaikan dan jadi teman biasa itu terlalu susah bagi gue.

"Bukannya kalian udah baikan ya?" Tanya Ali, sambil ikut membereskan foto copyan yang harus segera di serahkan ke Ibu Djanti, salah satu orang yang bekerja di DPRD bagian keuangan.

"Udah sih," gue garuk-garuk kepala lalu melanjutkan. "Tapi aneh aja. Kita berdua masih gak bisa pacaran. Dia masih gak enak sama temennya. Setiap gue ngomongin tentang hubungan kita, dia selalu aja ngelak. Gue bener-bener gak paham."

"Semuanya butuh proses kan, Kay." Ali menasehati. "Enggak yang langsung-langsung aja. Dia juga pasti mikir tentang perasaan lo, perasaan temennya dan juga perasaan dirinya sendiri. Jangan dipaksa buru-buru. Kasihan dia juga."

Gue mengangguk pasrah. Ali benar juga, mungkin gue terlalu maksain apa yang gue mau kepada dia, sampai dia bingung harus memberikan jawaban. Gue memaklumi.

"Makasih, Li." Gue menepuk pundak Ali, "Tapi gue juga gak mau nunggu nunggu dan nunggu lagi. Perasaan gue kesepian tanpa dia. Badan gue jalan kemana-mana, tapi hati gue masih sama dia. Kalo dia kembali, gue mau dia jangan pergi lagi." Gue berlalu, dan meninggalkan Ali dengan sebuntal foto copyan yang sudah ditunggu.
.

Bersambung ~ ...

Kayuhan Sepeda Tua (Part 1)



.
Di awal bulan Desember 2015, sepulang dari acara susur pantai di Jogja, gue dan dia kembali mengobrol seperti biasa. Setelah dua minggu tidak saling menghubungi masing-masing, entah keajaiban apa yang terjadi, gue dan dia berhasil berbaikan. Semesta mungkin sudah lelah, ngeliat gue dan dia berantem terus.

Awalnya kami emang ngobrol seperti biasa, tapi karena ada satu hal yang mengganjal, gue pun bertanya kepada dia. "Jadi sekarang itu kita ngapain ya?" Tanya gue di warung bakso langganan gue. Dia sedang menyeruput kuah baksonya yang kental dengan sambal.

Dia menatap gue bingung.

"Iya kita itu ngapain? Dulu kamu pernah tanya kan kalo kita itu sebenarnya ngapain. Sekarang gantian aku yang tanya, kita itu sebenarnya ngapain?" Gue kembali memperjelas.

"Aku masih gak tahu." Katanya bingung.

"Kamu gak tahu sama perasaan kamu atau sama yang lain?"

"Aku sayang kok sama kamu. Tapi aku tadi ketemu dia, jadi aku sungkan lagi sama dia, sama kamu juga." Dia berkata dengan tatapan muka memelas.

Gue memundurkan duduk, menatap dia dengan serius. "Sampai hari ini saya masih sayang sama kamu. Nggak tahu kenapa perasaan saya sama kamu masih aja sama. Bahkan ketika 2 minggu kita gak tahu kabar masing-masing saya masih sayang sama kamu. Ngeliat kamu yang sekarang, aku kayak ngeliat mata ibu dari anak-anak ku nanti." Gue berkata serius, dia ketawa kecil.

Lalu gue melanjutkan. "Tapi aku gak bisa cuma jadi temen kamu. Aku gak bisa nunggu dan nunggu lagi kayak waktu dulu, aku gak bisa. Aku gak bisa lihat kamu jalan sama orang lain. Rasanya sakit aja."

"Terus maunya kamu apa?" Dia balik bertanya.

"Ya pacaran lah, orang aku sayang sama kamu!" Kata gue tegas. Biasanya, dalam acara sinetron atau film-film, pas adegan cowok nembak cewek itu selalu diisi dengan hal-hal dan bau-bau yang romantis. Kali ini beda banget, gue udah kayak kondektur yang lagi nagih duit ongkos ke penumpang. Gue memberikan tatapan kepada dia yang seandainya bisa ngomong. Mungkin gini jadinya. "Bayar lo! Kalo gak gue lempar lo keluar!" Percayalah Man, kadang nembak cewek agak maksa itu ngaruh. 99% ngaruh banget. Percaya~lah!

Dia hening, belum memberikan jawaban.

Bersambung ~ (part II)