Sabtu, 07 Maret 2015

‘Beda’ dengan ‘Rasa’ yang ‘Sama’



Jimmy dan Regina yang telah selesai berkuliah, pergi makan siang bersama dikantin kampus. Di kantin, Jimmy selalu memesan makanan dengan pesanan yang sama setiap harinya. Nasi goreng, telur mata sapi, pakai kecap. Sedangkan Regina, soto daging, dengan sedikit kuat. Biasanya Regina menambahkan sambal dan garam yang banyak. Kadang Jimmy suka mempermasalahakan sambal yang Regina tambahkan terlalu banyak. Jimmy nggak mau Regina sakit perut di mata kuliah berikutnya.

Kadang juga mereka berdua merasa aneh dengan makanan yang mereka pesan setiap hari. Selalu sama, dengan rasa yang sama, tapi tidak pernah bosan. Seperti ‘rasa’ bertemu mereka berdua yang selalu ‘sama’. Tidak pernah bosan.

Minggu, 01 Maret 2015

Setiap Hari Pukul Tujuh Malam Kadang Lebih

(Jimmy dan Regina)

Solo, di malam minggu.

Di jalan raya arah Solo Semarang, Jimmy menghentikan laju mobilnya. Ia menatap Regina yang sedang duduk cantik di sebelahnya. Jimmy tersenyum simpul. Regina menatap Jimmy belum paham, lalu Jimmy mulai bicara. “Ayo kita turun sebentar.” Jimmy melepaskan seatbeltnya. Membuka pintu mobil, lalu turun perlahan.

Regina yang belum mengerti, hanya mengikuti Jimmy turun dari mobil. Jimmy duduk di pinggir trotoar yang sedikit basah hasil hujan turun sore tadi. Jimmy membersihkan tempat di sebelahnya, membuatkan tempat duduk khusus untuk Regina.

Regina duduk disebelah Jimmy. “Kok nongkrong disini?” Regina masih memendam tanda tanya.

“Aku mau lihat orang yang lalu lalang. Rasanya rame sekali,” jawab Jimmy menatap kedepan.

“Ini kan malam minggu,” Regina yang polos menjawab seadanya.

Jimmy menoleh ke arah Regina, menatap matanya. “Menurut kamu, arti malam minggu itu apa?”

“Emm, apa ya?” Regina mencoba berpikir. Setelah jawabannya setengah matang, Regina melanjutkan, “Malam minggu itu, malamnya ngedate sama pacar. Intinya, malam minggu biasa digunain untuk orang-orang pacaran gentayangan.” Regina tertawa kecil. “Hihihi.”

“Anak TK juga tau.” Jimmy melengos.

“Huh. Terus bagi Jimmy apa?” Regina nggak terima.

“Nggak ada artinya,” Jimmy kembali melengos. “Sama aja kayak malam-malam biasanya.” Jimmy kembali menatap kedepan, kali ini pandangnnya menjadi kosong. Jimmy mencoba mengingat sesuatu.

“Huh. Jawaban anak kecil,” Regina ngambek.

“Di dekat rumah ku, ada gang kecil sebelum jalan raya. Regina tahu?” Jimmy bertanya, sambil mencoba menghangatkan suasana.

“Gang kecil mau ke jalan raya kan?” Regina yang biasa main ke rumah Jimmy bersama teman-temannya tentu tahu. Untuk ke rumah Jimmy, Regina harus melewati gang kecil yang hanya bisa di lewati oleh satu mobil atau dua motor.

“Sebelum sampai ke jalan raya, ada pohon mangga besar. Regina tahu?” Jimmy bertanya sekali lagi. Memang, ada pohon mangga besar yang biasa berbuah ketika musimnya. Pohon itu selalu menjadi langganan untuk anak-anak kecil di komplek sekitar rumah Jimmy.

“Jangan bilang disana ada hantunya!” Regina menggigit bibir bawahnya.

Kamu imut sekali.

“Kali ini bukan,” sahut Jimmy. “Coba kamu cek, setiap hari, pukul 7 malam, kadang lebih. Ada Kakek-kakek, naik sepeda tua lagi berdiri nunggu seseorang. Kira-kira dia nunggu siapa?”

Regina menggeleng. “Cucunya, mungkin.”

Gantian Jimmy yang menggeleng. “Kamu salah. Kakek itu tadi lagi nunggu istrinya. Kakek itu tadi nunggu istrinya pulang dari kerja.” Regina semakin serius mendengarkan Jimmy bercerita. “Setiap hari, pukul 7 malam, kadang lebih. Seorang Kakek, dengan sepeda tuanya, berdiri menunggu di bawah pohon untuk menjemput istrinya pulang bekerja. Istrinya biasa pulang dari pasar naik angkutan umum. Bahkan Kakek itu selalu menunggu ketika hujan.” Jimmy menatap Regina penuh arti. Mencoba menceritakan apa yang menjadi keresahannya di malam minggu ini.

“Dan yang paling berkesan, aku pernah ngeliat Kakek itu dengan sabarnya, menunggu istrinya naik di jok sepeda tuanya dengan perlahan. Karena barang dagangannya masih sisa banyak, Si Nenek jadi agak kesulitan naik ke jok sepeda.” Jimmy tersenyum sendiri.

Regina tiba-tiba bertanya. “Tapi kenapa kok Kakek nggak jemput aja di pasar?”

“Itu yang bikin aku bingung.” Jimmy merenung. Ia mengambil ranting kecil yang ada disebelah kakinya. Lalu ia mencoret-coret tanah yang ia pijaki. Masih basah. “Aku mikir, mungkin Kakek itu emang maunya jemput Si Nenek ke pasar. Tapi Neneknya yang nggak mau.”

“Kok nggak mau? Kan Kakek sayang sama Nenek!” Regina membantah.

“Karena Nenek juga sayang sama Kakek.” Jimmy menjelaskan kata-katanya, “Nenek nggak mau ngerepotin Kakek. Mungkin, selama seharian Kakek udah capek kerja. Jadi Nenek ngerasa nggak perlu di jemput lagi. Nenek mau Kakek istirahat aja di rumah.” Jimmy menjelaskan dengan teorinya sendiri.

“Iya juga, sih.” Regina sedikit mengerti. “Mereka berdua saling menyayangi dan mencoba melengkapi kelemahan masing-masing.”

“Mereka pasangan yang hebat.” Jimmy mengangguk setuju. “Setiap hari, pukul 7 malam kadang lebih. Aku selalu ngeliat Kakek itu tersenyum menunggu istrinya pulang.” Jimmy tertawa lagi. “Hampir setiap hari juga, aku bisa ngeliat senyum Kakek itu. Dan aku belum pernah ngeliat senyum setulus dan seikhlas itu.” Jimmy selalu terbayang ketika ia melewati gang rumahnya. Hanya kepada Reginalah ia menceritakan keresahannya. Ada sesuatu yang Jimmy mau. Jimmy mau Regina tahu bagaimana si Nenek menjadi sangat spesial bagi Sang Kakek.

“Kapan-kapan aku juga mau lihat.” Regina merengek. “Ya, ya?”

“Tapi, di pohon mangganya ada penunggunya, lho.” Jimmy hanya bercanda.

“Biarin aja, ah!” Regina tetap bersikeukuh.

Jimmy mengangguk. “Sekarang, menurut kamu. Malam minggu itu apa?”

Regina menggeleng. “Sama aja kayak malam-malam yang lain. Semua malam selalu spesial. Waktu, hari, tanggal ataupun tahun, dimanapun, semuanya spesial. Tinggal gimana cara kita bersyukur bersama pasangan ataupun keluarga kita..”

Regina dan Jimmy tersenyum bersama. Mata mereka menatap kedalam hati masing-masing. Mensyukri apa yang terjadi malam ini bersama-sama, dengan segala ketulusan dan keikhlasan yang mereka punya. Malam ini, senyuman mereka berdua menjadi senyum terikhlas dan tertulus yang pernah mereka berikan kepada kehidupan masing-masing. Senyum yang mengisi kehidupan mereka. Senyum yang apa adanya. Tulus.

Lalu, Jimmy mengantarkan Regina pulang ke kosannya.


Di tanah, Jimmy menuliskan. “Setiap pukul, 7 malam, kadang lebih. Aku akan selalu sama kamu!”


One Day I'II Marry You


Sapri yang telah usai kuliah, hanya bisa menghela napas super panjang ketika melihat Puspa, seorang primadona kampus yang ia taksir akan masuk ke dalam mobil bersama laki-laki terkenal, anak juragan trebelo.

Sebelum masuk ke dalam mobil, Puspa melihat Sapri berdiri mematung, mirip lutung kasarung, yang lagi mutung. Tanpa rasa bersalah Puspa memberikan senyum perpisahan untuk Sapri. Sambil melambaikan tangan, Sapri menangis dalam hati, mirip peserta Dunia Kelamin yang menyerah karena ngeliat tuyul goyang dumang.

Lalu...