Minggu, 01 Maret 2015

One Day I'II Marry You


Sapri yang telah usai kuliah, hanya bisa menghela napas super panjang ketika melihat Puspa, seorang primadona kampus yang ia taksir akan masuk ke dalam mobil bersama laki-laki terkenal, anak juragan trebelo.

Sebelum masuk ke dalam mobil, Puspa melihat Sapri berdiri mematung, mirip lutung kasarung, yang lagi mutung. Tanpa rasa bersalah Puspa memberikan senyum perpisahan untuk Sapri. Sambil melambaikan tangan, Sapri menangis dalam hati, mirip peserta Dunia Kelamin yang menyerah karena ngeliat tuyul goyang dumang.

Lalu...

Sapri berjalan mendekati motor metiknya yang sudah usang. Sapri merasa kalau catnya mulai berubah warna, dari hitam menjadi kelam. Helmnya juga ikut luntur, dari putih menjadi belang-belang. Sebenarnya ini hanyalah ilusi dari hati Sapri yang terespon oleh otaknya yang kecil.

Mau percaya atau tidak, patah hati, bisa membuat seseorang berhalusinasi tidak wajar.

Suka parno, dengan membayangkan hal-hal yang sebenarnya mustahil terjadi. Sementara kenyataannya, hati Sapri-lah yang sudah pecah belah, hancur berkeping-keping. Luluh lantah. Jatuh dan tak bisa bangkit lagi.

Sebelum Sapri menghidupkan motornya dan kembali pulang ke kosan tercinta. Jono, salah seorang teman Sapri menepuk bahu Sapri dari belakang.

“Mau pulang Bro?” tanya Jono dengan semangat 45.

“Mau macul!” jawab Sapri dengan sinis.

“Lah kenapa lau?”

“Mau tahu aja, atau mau tahu banget!”

“Mau tahu anget aja, ada gak. Haha.” Sapri tidak tersenyum apalagi menjawab. Ia malah menghidupkan motornya dan bersiap untuk pulang. Jono jadi tidak enak hati.

“Sorry-sorry. Kamu kenapa e, Pri? Karcis parkirmu hilang apa gimana?”

“Aku tadi ngeliat Puspa pulang sama Taryo, anaknya bos juragan trebelo, naik mobil!” tiba-tiba Sapri keceplosan, Sapri malah curhat.

“Inalillahi!” seru Jono kaget.

“Cuma naik mobil berdua, gak ada yang mati.” Sapri tertunduk lemas. “Mungkin hatiku aja yang keliatannya udah mati.”

“Aku terjatuh dan tak bisa bangkit lagi. Aku tenggelam, dalam lautan luka dalam. Aku tersesat dan tak tahu arah jalan pulang. Aku tanpa mu... butiran debu.. aku tanpa mu... butiran debu.” Jono bernyanyi sambil ngetipung pakai helmnya sendiri.
Sapri melamun sedih.

“Sapri, kamu jangan galau. Yang sudah ya sudah,” sahut Jono lagi.

“Kamu enak, ngomong doang. Kamu kan gak ngerasain apa yang aku rasain, makanya kamu bisa asal ngomong,” sahut Sapri agak keras. “Setiap manusia punya hati yang beda-beda. Jangan disamain kayak hatimu yang udah karatan. Hati ku ini lebih sensitif.”

“Iya aku tahu. Tapi coba kamu pikir, sebenarnya status kalian berdua itu apa? Pacar? Bukan. Teman? Juga bukan. Lagian kalian berdua cuma kenal di Friendster. Kenapa harus merasa kehilangan, sementara dia tidak mengenal kamu secara lebih.” Jono berkata bijak. Ia menaruh helmnya yang penuh dengan stiker tengkorak. Kemudian Jono melanjutkan kembali. Jangan jadi banci yang hatinya mudah sakit hati. Tapi tujukkan kepada dia yang menyakiti hati kamu. Bila dia hanya mencari seorang laki-laki yang sukses. Tunjukkan, kalau kamu juga bisa lebih sukses. Jono tersenyum lebar, menunggu respon Sapri yang masih termenung.

Jono pun menepuk pelan lengan Sapri supaya tidak melamun dan kesurupan.

“Benar juga ucapan mu. Puspa gak salah. Cinta bukan berati selalu ada terus ngasih perhatian. Kekayaan juga merupakan sebagian dari cinta. Bagaimana kita, menghidupi pasangan kita nanti.” Emosi Sapri kini mulai stabil.

Jono mengangguk setuju. “Kalau ganteng, juga gantengan kamu dibanding Taryo.” Jono hanya menghibur.

“Makasih lho Jon,” kata Sapri.

“Iya Sapri, lau tenang aja. Itulah gunanya teman,” kata Jono, santai.

Sapri pun pulang dengan hati yang lega. Di tengah perjalanan, Sapri terus berpikir. Tapi dengan kenyataannya, bukan dengan halusinasi karena sedang patah hati.

“Aku harus jadi seorang laki-laki yang realistis. Kalau aku belum sukses, tapi ingin punya pacar secantik Puspa. Mau aku kasih makan apa dia nanti. Makan aja masih utang. Itu pun cuma mie dikremes. Huh. Baiklah, aku harus belajar dan cepat-cepat lulus kuliah. Supaya aku bisa membuktikan bahwa aku bisa jauh lebih baik dari Sapri yang sekarang.” Sapri semakin mempercepat laju motornya. Lalu ia pun berteriak dengan lantang.

“TANPA KAMU, GAK MASALAH! AKU YAKIN KALAU AKU BISA! BISA PASTI BISA! HARUS LEBIH BAIK DARI SEKARANG!”

Esok harinya. Sapri masuk berita “Palang Merah”

“NAIK MOTOR UGAL-UGALAN, SEORANG MAHASISWA PATAH HATI, MENYEREMPET ABANG TUKANG GORENGAN HINGGA NYUNGSEP KE DALAM KOLAM LELE."

*Jono, histeris, melihat bapaknya di srempet orang*


Comments
0 Comments

Tidak ada komentar:

Posting Komentar