Sapri
yang telah usai kuliah, hanya bisa menghela napas super panjang ketika
melihat Puspa, seorang primadona kampus yang ia taksir akan masuk ke dalam
mobil bersama laki-laki terkenal, anak juragan trebelo.
Sebelum
masuk ke dalam mobil, Puspa melihat Sapri berdiri mematung, mirip lutung
kasarung, yang lagi mutung. Tanpa rasa bersalah Puspa memberikan senyum
perpisahan untuk Sapri. Sambil melambaikan tangan, Sapri menangis dalam hati, mirip
peserta Dunia Kelamin yang menyerah karena ngeliat tuyul goyang dumang.
Lalu...
Sapri berjalan mendekati motor metiknya yang sudah usang. Sapri merasa kalau
catnya mulai berubah warna, dari hitam menjadi kelam. Helmnya juga ikut luntur,
dari putih menjadi belang-belang. Sebenarnya ini hanyalah ilusi dari hati Sapri
yang terespon oleh otaknya yang kecil.
Mau
percaya atau tidak, patah hati, bisa membuat seseorang berhalusinasi tidak
wajar.
Suka
parno, dengan membayangkan hal-hal yang sebenarnya mustahil terjadi. Sementara
kenyataannya, hati Sapri-lah yang sudah pecah belah, hancur berkeping-keping.
Luluh lantah. Jatuh dan tak bisa bangkit lagi.
Sebelum
Sapri menghidupkan motornya dan kembali pulang ke kosan tercinta. Jono, salah
seorang teman Sapri menepuk bahu Sapri dari belakang.
“Mau
pulang Bro?” tanya Jono dengan semangat 45.
“Mau
macul!” jawab Sapri dengan sinis.
“Lah
kenapa lau?”
“Mau
tahu aja, atau mau tahu banget!”
“Mau
tahu anget aja, ada gak. Haha.” Sapri tidak tersenyum apalagi menjawab. Ia
malah menghidupkan motornya dan bersiap untuk pulang. Jono jadi tidak enak
hati.
“Sorry-sorry. Kamu kenapa e, Pri? Karcis parkirmu hilang apa gimana?”
“Aku
tadi ngeliat Puspa pulang sama Taryo, anaknya bos juragan trebelo, naik mobil!”
tiba-tiba Sapri keceplosan, Sapri malah curhat.
“Inalillahi!”
seru Jono kaget.
“Cuma
naik mobil berdua, gak ada yang mati.” Sapri tertunduk lemas. “Mungkin hatiku aja
yang keliatannya udah mati.”
“Aku
terjatuh dan tak bisa bangkit lagi. Aku tenggelam, dalam lautan luka dalam. Aku
tersesat dan tak tahu arah jalan pulang. Aku tanpa mu... butiran debu.. aku
tanpa mu... butiran debu.” Jono bernyanyi sambil ngetipung pakai helmnya sendiri.
Sapri
melamun sedih.
“Sapri,
kamu jangan galau. Yang sudah ya sudah,” sahut Jono lagi.
“Kamu
enak, ngomong doang. Kamu kan gak ngerasain apa yang aku rasain, makanya kamu
bisa asal ngomong,” sahut Sapri agak keras. “Setiap manusia punya hati yang beda-beda.
Jangan disamain kayak hatimu yang udah karatan. Hati ku ini lebih sensitif.”
“Iya
aku tahu. Tapi coba kamu pikir, sebenarnya status kalian berdua itu apa? Pacar?
Bukan. Teman? Juga bukan. Lagian kalian berdua cuma kenal di Friendster. Kenapa harus merasa
kehilangan, sementara dia tidak mengenal kamu secara lebih.” Jono berkata bijak.
Ia menaruh helmnya yang penuh dengan stiker tengkorak. Kemudian Jono
melanjutkan kembali. “Jangan jadi banci yang hatinya mudah sakit
hati. Tapi tujukkan kepada dia yang menyakiti hati kamu. Bila dia hanya mencari
seorang laki-laki yang sukses. Tunjukkan, kalau kamu juga bisa lebih sukses.”
Jono tersenyum lebar, menunggu respon Sapri yang masih termenung.
Jono
pun menepuk pelan lengan Sapri supaya tidak melamun dan kesurupan.
“Benar
juga ucapan mu. Puspa gak salah. Cinta bukan berati selalu ada terus ngasih perhatian. Kekayaan juga merupakan
sebagian dari cinta. Bagaimana kita, menghidupi pasangan kita nanti.” Emosi
Sapri kini mulai stabil.
Jono
mengangguk setuju. “Kalau ganteng, juga gantengan kamu dibanding Taryo.” Jono hanya
menghibur.
“Makasih
lho Jon,” kata Sapri.
“Iya
Sapri, lau tenang aja. Itulah gunanya teman,” kata Jono, santai.
Sapri
pun pulang dengan hati yang lega. Di tengah perjalanan, Sapri terus berpikir. Tapi
dengan kenyataannya, bukan dengan halusinasi karena sedang patah hati.
“Aku
harus jadi seorang laki-laki yang realistis. Kalau aku belum sukses, tapi ingin
punya pacar secantik Puspa. Mau aku kasih makan apa dia nanti. Makan aja masih
utang. Itu pun cuma mie dikremes. Huh. Baiklah, aku harus belajar dan
cepat-cepat lulus kuliah. Supaya aku bisa membuktikan bahwa aku bisa jauh lebih
baik dari Sapri yang sekarang.” Sapri semakin mempercepat laju motornya. Lalu
ia pun berteriak dengan lantang.
“TANPA KAMU, GAK MASALAH! AKU YAKIN KALAU AKU
BISA! BISA PASTI BISA! HARUS LEBIH BAIK DARI SEKARANG!”
Esok
harinya. Sapri masuk berita “Palang Merah”
“NAIK MOTOR UGAL-UGALAN, SEORANG MAHASISWA PATAH HATI,
MENYEREMPET ABANG TUKANG GORENGAN HINGGA NYUNGSEP KE DALAM KOLAM LELE."
*Jono, histeris, melihat bapaknya di srempet orang*