Minggu, 22 Februari 2015

Ini adalah CERPEN Paling Panjang yang Pernah gue Posting.. Kalau kalian Niat Baca, kalian harus baca sampai akhir..

LAST DATE

Tangerang, February 2012

DI daerah BSD Serpong Tangerang, ada tempat yang sering gue datangi untuk ketemu pacar. Waktu itu pacar orang Tangerang, dia bekerja sebagai SPG di salah satu Mall, dibagian pakaian dalam. Umur kami terpaut dua tahun, gue 19 tahun, dia 21 tahun. Ya tua dia. Panggil saja; En.

En adalah kakak kelas gue di SMA dulu. Lagi-lagi, gue kenal En di Facebook. Semua lebih mudah kalo lewat Facebook. Gue bisa kenalan, atau sok kenal sama En, sampai En ngasih nomer teleponnya ke gue. Sebenarnya gue yang maksa minta.

Hubungan gue dan dia pada tahap perkenalan yang baik, En nggak pernah nganggap gue sebagai adik kelasnya. Perhatiannya juga tidak beda dengan orang seumurannya. Kadang dia dewasa, kadang dia luar biasa manjanya.

Untuk menuju ke tahap pacaran, PDKT yang gue lancarkan sekitar 4 bulan lebih. Lebih satu hari atau berapa hari gue lupa. Intinya lebih. Sudah banyak yang gue ketahui dari En, mulai dari jam dia kerja, main sama temen, dimana dia nongkrong, sampai, tanggal kapan dia PMS (ini gue bercanda). Pokoknya gue tahu, dan memudahkan gue untuk menghubungi dia.

Dari Jakarta ke Tangerang. Kami pun LDR. 


Jangan tanya nembak En dulu gimana. Gue udah lupa. Jarak kita hanya di batasi satu setengah jam waktu.., kalo nggak macet. Namanya juga Jakarta. Nggak mau macet ya terbang aja.

Karena di pertandingan Bogor kemarin gue juara, En pun minta dibelikan sebuah oleh-oleh. En nggak minta talas Bogor, karena gue nggak bakalan mau beliin dia itu. En minta dibelikan baju couple

Sampai di toko baju, dengan malu-malu, gue bertanya kepada Mba-mba yang jaga toko. “Mba, baju couple itu yang kayak apa ya?” bisik gue.

Mba-mba SPG tersenyum. “Buat saya atau pacarnya Mas.”

“Erww. Ya buat pacar saya-lah Mba.” Mba SPG mendengus, kecewa.

“Ada disini Mas.” Mba SPG berjalan menunjukkan dimana baju couple itu berada, sambil mengatupkan bibirnya.

Sampai di rak pakaian. Gue langsung memilih warna abu-abu. Hanya tinggal sisa 4 warna. Kuning. Hijau. Ungu. Dan abu-abu. Warna abu-abu gue rasa lebih cocok. Kalo ada En dia pasti milih warna kuning. Udah kayak tokai aja, tinggal nyentor. Kalo hijau, takut, jalan siang-siang entar dikira mau fotosintesis. Kalo ungu, ya pikir aja, gue masih perjaka sudah dikira janda.

Anu-anu. Maksud gue abu-abu, jelas lebih pas.

“Ternyata baju couple itu dua, kembar.” Gue menggumam, “Umur 21 tahun, tapi masih alay aja ya. Hahaha.”

Pesanan terbungkus rapi.

En mengambil baju yang gue beli, ketika dia mampir ke asrama.
-----

DI tempat gue dan En bertemu, ada Desi dan juga Mawar, temannya. Mereka berdua selalu bersama En kemanapun En berada, tidak memberikan kesempatan gue untuk ngedate berdua secara romantis. Desi juga selalu manggil gue berondong. Sedangkan Mawar lebih pendiam. Mereka berdua juga kakak kelas gue di SMA. 

Percaya deh sama gue, ngedate bareng 3 cewek itu nggak enak. Karena kalo ada satu cowok disana, pasti dia dikira bencong. Dan itu adalah; gue.

“Lo itu kayak kuman, Des, ngikut mulu waktu gue ngedate! Pulang sana lu!” protes gue, sewot.

Desi cengengesan, “Heh Brondong alay. En, temen gue, sewaktu kenal sama lo juga gue dulu yang kenal. Kalo mau pulang, lo aja yang pulang.” Mawar hanya meminum ice lemon tea yang dia pesan.

Gue dipanggil brondong alay, karena baju gue dan En sama. Ya, kita memakai baju couple warna abu-abu yang gue belikan di Bogor.

“Loh kan gue pacarnya?!” Gue mendengus, En langsung memegang tangan gue dari bawah meja. Dia menggenggam erat tangan gue, En tersenyum simpul. “Terserah lo, Des,” kata gue kemudian.

En, menyebut tongkrongan kami ini Cuangky Bakso 2000, gue nggak tahu apa artinya, tapi tempat tongkrongan kami nggak pernah berubah. Gue pernah ngajak En ke tempat lain, tapi endingnya, pasti mampir ke Cuangky Bakso 2000. Padahal harga baksonya goceng, tapi En tetap keukuh manggil Cuangky Bakso 2000. Aneh.

Dia emang pacar yang aneh.

Semakin malam pengunjung yang datang pun semakin ramai. Gue dan En memutuskan untuk pindah tongkrongan. En mengajak ke kosan Desi yang penghuninya masih gentayangan di malam minggu. Selain pintar ngoceh, Desi juga pintar main gitar. Kalo nggak ada dia juga sepi.

Soal kapan gue balik ke Jakarta, biasanya, gue akan menginap dulu di asrama temen gue, lalu siang harinya gue biasa pulang diantar naik motor, dengan upah nasi padang dua rendang.

Pukul sepuluh malam, gue, En, Desi dan Mawar sampai dikosan. Kosan Desi nggak terlalu jauh dari asrama temen gue, 10 menit jalan kaki. Gue bisa jalan kaki, langsung ke asrama temen gue dengan nyogok 2 bungkus rokok ke satpam.

Di teras kosan, Desi dan Mawar tiba-tiba meninggalkan gue. Nggak seperti biasanya, batin gue. Gue melihat mereka berdua masuk ke dalam kamar. Desi terlihat cekikikan menahan sesuatu yang dirahasiakan.

“Kok mereka langsung ke kamar?” tanya gue. “Kamu nyogok apa?”

“Tadi aku yang nyuruh mereka,” En langsung menggenggam erat tangan gue. “Kamu mau cerita apa?”

Gue menggeleng.

Sejujurnya, gue belum bercerita tentang apa yang terjadi dengan Club gue yang sebentar lagi akan Vakum. Gue dengan terpaksa akan ninggalin En untuk pulang ke Solo sampai Club yang membina gue dari SMP kembali stabil. Gue bingung harus mulai cerita darimana.

“Kamu mau bohong?”

Felling cewek memang lebih peka. Gue kembali menggeleng. “Aku bingung mau cerita darimana?”

“Enggak soal Gundul, kan?” tanya En sambil tertawa kecil.

“Ya enggak lah! Makhluk sial kayak dia jangan suka diceritain. Bawa sial!” Gue dan En emang suka ngebahas soal junior gue Gundul. En bertemu Gundul sewaktu main ke asrama gue. Waktu itu gue lagi mandi, En yang lagi nunggu gue, malah di gombali Gundul. En menceritakan bagaimana lucunya Gundul sewaktu godain dirinya.

Esok harinya, Gundul gue cemplungin ke sumur!

“Tapi dia lucu lho,” En masih tertawa kecil.

“Lucu kayak tuyul.” Kami berdua tertawa.

“Dosa nggak ya, tiap hari kita ngeledek Gundul terus.” En pun akhirnya khawatir kalo menghina Gundul terus-terusan bisa membawa kutukan.

“Iya ya, aku juga takut kena kutukan,” Gue ikut membenarkan.

Kita pun sama-sama hening karena Gundul.

Tiba-tiba, En mengecup pipi gue. Cepat, lembut, lama. Enaaaak. Biasanya gue yang suka nyium dia duluan.

“Kamu kenapa?” tanya gue bingung. “Biasanya, aku duluan yang cium kamu.”

“Aku kangen. Udah 2 minggu kita nggak ketemu,” En menatap mata gue, nanar.

Gue menaikan alis, “Bukannya kita pernah satu bulan nggak ketemu ya? Waktu aku banyak pertandingan itu.” Ya, beginilah kalo pacaran sama atlet, suka ditinggal pertandingan sama latihan.

En lalu mengantupkan bibirnya. Semakin erat menggenggam tangan gue. “Nggak tahu aja, rasanya kayak kamu mau ninggalin aku. SMS kamu, telepon kamu, inbox Facebook dari kamu. Jadi jarang!”

“Kan aku lagi pertandingan, sebagai profesional aku harus fokus sama pertandingan, baru sama kamu. Kamu kayak anak kecil deh,” kata gue sambil mengelus-elus rambutnya kayak kucing.

“Emang nggak boleh ya kalo aku kayak anak kecil?”

“Boleh kok boleh.”

En menatap gue curiga. “Tapi, makasih ya bajunya.”

“Maaf warnanya cuma tinggal abu-abu,” Gue berbohong.

“Padahal aku suka yang warna kuning.” Tuh kan gue bilang apa.

“Hehehe. Habis, lagian kalo kuning kayak eek banci.” Gue bercanda.

En mencubit pelan perut gue, kadang gue pengen nyubit balik, tapi takut di gambar. Ditengah bercandaan kami, secara reflek, En memeluk gue. Gue juga memeluk En, erat. Rasanya gue rindu sekali sama dia, tapi gue nggak tahu gimana cara bilangnya. Gue mau jujur tapi nggak tahu gimana ngungkapinnya.

Gue mengelus-elus bahu En, dan memeluk En sangat lama.

Setengah 12 malam, gue pamit untuk pulang. Tanpa penjelasaan apapun, selain sudah malam. Malam ini akan jadi malam terakhir untuk kami.

DUA minggu kemudian gue dan En putus. Gue yang memutuskan, gue bilang gue nggak sanggup pacaran lagi sama dia. Belajar dari pengalaman LDR yang sebelumnya, salah satu dari kita pasti ngerasain sakit. Mau sakit sekarang atau nanti sama saja.

Club yang  membina gue benar-benar vakum untuk waktu yang lama. Gue nggak tahu akan kembali lagi kapan. Kalo waktu itu benar-benar ada, gue pasti akan kembali kepada En, lalu menjelaskan semuanya kenapa gue mutusin dia. Yang En tahu, gue putus sama dia karena gue nggak sayang lagi sama dia.

Setahun kemudian, saat gue sudah menetap di Solo. En mengirimkan sebuah pesan SMS.

“Tanggal sepuluh November nanti. Aku menikah. Kalo bisa, kamu datang, lalu minta maaf ke aku! Oke.”


            Gue tidak membalas SMS dari En.
Comments
0 Comments

Tidak ada komentar:

Posting Komentar