(Jimmy dan Regina)
Solo, di malam minggu.
Di jalan raya arah Solo
Semarang, Jimmy menghentikan laju mobilnya. Ia menatap Regina yang sedang duduk
cantik di sebelahnya. Jimmy tersenyum simpul. Regina menatap Jimmy belum paham,
lalu Jimmy mulai bicara. “Ayo kita turun sebentar.” Jimmy melepaskan seatbeltnya.
Membuka pintu mobil, lalu turun perlahan.
Regina yang belum mengerti,
hanya mengikuti Jimmy turun dari mobil. Jimmy duduk di pinggir trotoar yang
sedikit basah hasil hujan turun sore tadi. Jimmy membersihkan tempat di
sebelahnya, membuatkan tempat duduk khusus untuk Regina.
Regina duduk disebelah
Jimmy. “Kok nongkrong disini?” Regina masih memendam tanda tanya.
“Aku mau lihat orang yang
lalu lalang. Rasanya rame sekali,” jawab Jimmy menatap kedepan.
“Ini kan malam minggu,”
Regina yang polos menjawab seadanya.
Jimmy menoleh ke arah
Regina, menatap matanya. “Menurut kamu, arti malam minggu itu apa?”
“Emm, apa ya?” Regina
mencoba berpikir. Setelah jawabannya setengah matang, Regina melanjutkan, “Malam
minggu itu, malamnya ngedate sama pacar. Intinya, malam minggu biasa digunain
untuk orang-orang pacaran gentayangan.” Regina tertawa kecil. “Hihihi.”
“Anak TK juga tau.” Jimmy
melengos.
“Huh. Terus bagi Jimmy apa?”
Regina nggak terima.
“Nggak ada artinya,” Jimmy
kembali melengos. “Sama aja kayak malam-malam biasanya.” Jimmy kembali menatap
kedepan, kali ini pandangnnya menjadi kosong. Jimmy mencoba mengingat sesuatu.
“Huh. Jawaban anak kecil,”
Regina ngambek.
“Di dekat rumah ku, ada gang
kecil sebelum jalan raya. Regina tahu?” Jimmy bertanya, sambil mencoba
menghangatkan suasana.
“Gang kecil mau ke jalan
raya kan?” Regina yang biasa main ke rumah Jimmy bersama teman-temannya tentu tahu.
Untuk ke rumah Jimmy, Regina harus melewati gang kecil yang hanya bisa di
lewati oleh satu mobil atau dua motor.
“Sebelum sampai ke jalan
raya, ada pohon mangga besar. Regina tahu?” Jimmy bertanya sekali lagi. Memang,
ada pohon mangga besar yang biasa berbuah ketika musimnya. Pohon itu selalu
menjadi langganan untuk anak-anak kecil di komplek sekitar rumah Jimmy.
“Jangan bilang disana ada
hantunya!” Regina menggigit bibir bawahnya.
Kamu
imut sekali.
“Kali ini bukan,” sahut
Jimmy. “Coba kamu cek, setiap hari, pukul 7 malam, kadang lebih. Ada
Kakek-kakek, naik sepeda tua lagi berdiri nunggu seseorang. Kira-kira dia
nunggu siapa?”
Regina menggeleng. “Cucunya,
mungkin.”
Gantian Jimmy yang
menggeleng. “Kamu salah. Kakek itu tadi lagi nunggu istrinya. Kakek itu tadi nunggu
istrinya pulang dari kerja.” Regina semakin serius mendengarkan Jimmy
bercerita. “Setiap hari, pukul 7 malam, kadang lebih. Seorang Kakek, dengan
sepeda tuanya, berdiri menunggu di bawah pohon untuk menjemput istrinya pulang bekerja.
Istrinya biasa pulang dari pasar naik angkutan umum. Bahkan Kakek itu selalu menunggu
ketika hujan.” Jimmy menatap Regina penuh arti. Mencoba menceritakan apa yang
menjadi keresahannya di malam minggu ini.
“Dan yang paling berkesan,
aku pernah ngeliat Kakek itu dengan sabarnya, menunggu istrinya naik di jok
sepeda tuanya dengan perlahan. Karena barang dagangannya masih sisa banyak, Si
Nenek jadi agak kesulitan naik ke jok sepeda.” Jimmy tersenyum sendiri.
Regina tiba-tiba bertanya.
“Tapi kenapa kok Kakek nggak jemput aja di pasar?”
“Itu yang bikin aku bingung.”
Jimmy merenung. Ia mengambil ranting kecil yang ada disebelah kakinya. Lalu ia
mencoret-coret tanah yang ia pijaki. Masih basah. “Aku mikir, mungkin Kakek itu
emang maunya jemput Si Nenek ke pasar. Tapi Neneknya yang nggak mau.”
“Kok nggak mau? Kan Kakek
sayang sama Nenek!” Regina membantah.
“Karena Nenek juga sayang
sama Kakek.” Jimmy menjelaskan kata-katanya, “Nenek nggak mau ngerepotin Kakek.
Mungkin, selama seharian Kakek udah capek kerja. Jadi Nenek ngerasa nggak perlu
di jemput lagi. Nenek mau Kakek istirahat aja di rumah.” Jimmy menjelaskan
dengan teorinya sendiri.
“Iya juga, sih.” Regina
sedikit mengerti. “Mereka berdua saling menyayangi dan mencoba melengkapi
kelemahan masing-masing.”
“Mereka pasangan yang hebat.”
Jimmy mengangguk setuju. “Setiap hari, pukul 7 malam kadang lebih. Aku selalu
ngeliat Kakek itu tersenyum menunggu istrinya pulang.” Jimmy tertawa lagi.
“Hampir setiap hari juga, aku bisa ngeliat senyum Kakek itu. Dan aku belum
pernah ngeliat senyum setulus dan seikhlas itu.” Jimmy selalu terbayang ketika
ia melewati gang rumahnya. Hanya kepada Reginalah ia menceritakan keresahannya.
Ada sesuatu yang Jimmy mau. Jimmy mau Regina tahu bagaimana si Nenek menjadi
sangat spesial bagi Sang Kakek.
“Kapan-kapan aku juga mau
lihat.” Regina merengek. “Ya, ya?”
“Tapi, di pohon mangganya
ada penunggunya, lho.” Jimmy hanya bercanda.
“Biarin aja, ah!” Regina
tetap bersikeukuh.
Jimmy mengangguk. “Sekarang,
menurut kamu. Malam minggu itu apa?”
Regina menggeleng. “Sama aja
kayak malam-malam yang lain. Semua malam selalu spesial. Waktu, hari, tanggal
ataupun tahun, dimanapun, semuanya spesial. Tinggal gimana cara kita bersyukur
bersama pasangan ataupun keluarga kita..”
Regina dan Jimmy tersenyum
bersama. Mata mereka menatap kedalam hati masing-masing. Mensyukri apa yang
terjadi malam ini bersama-sama, dengan segala ketulusan dan keikhlasan yang
mereka punya. Malam ini, senyuman mereka berdua menjadi senyum terikhlas dan
tertulus yang pernah mereka berikan kepada kehidupan masing-masing. Senyum yang
mengisi kehidupan mereka. Senyum yang apa adanya. Tulus.
Lalu, Jimmy mengantarkan
Regina pulang ke kosannya.
Di tanah, Jimmy menuliskan.
“Setiap pukul, 7 malam, kadang lebih. Aku akan selalu sama kamu!”