Jimmy dan Regina yang telah selesai berkuliah, pergi makan siang bersama
dikantin kampus. Di kantin, Jimmy selalu memesan makanan dengan pesanan yang
sama setiap harinya. Nasi goreng, telur mata sapi, pakai kecap. Sedangkan
Regina, soto daging, dengan sedikit kuat. Biasanya Regina menambahkan sambal
dan garam yang banyak. Kadang Jimmy suka mempermasalahakan sambal yang Regina
tambahkan terlalu banyak. Jimmy nggak mau Regina sakit perut di mata kuliah
berikutnya.
Kadang juga mereka berdua merasa aneh dengan makanan
yang mereka pesan setiap hari. Selalu sama, dengan rasa yang sama, tapi tidak
pernah bosan. Seperti ‘rasa’ bertemu mereka berdua yang selalu ‘sama’. Tidak
pernah bosan.
Disela-sela menunggu. Regina memperbaruhi status Facebook-nya. “Lagi
makan dikampus, bareng Jimmy.” Tapi tiba-tiba, raut wajah Regina
berubah setelah membaca salah satu status temannya.
Jimmy tersenyum simpul. “Regina kenapa manyun?” tanya
Jimmy perhatian.
“Aku lagi bingung,” Regina menaruh hapenya. Kembali
fokus kepada Jimmy yang sedang duduk di depannya.
“Bingung kenapa?” Jimmy menatap Regina.
“Soal status Facebook temen,” jawab
Regina.
“Statusnya apa?”
“JANGAN SUKA NGURURUSIN HIDUP ORANG!” Regina berkata
dengan jelas.
“Eh?” tanya Jimmy kaget. “Kasar juga.”
Regina mengangguk lemas. “Iyaaaa.”
“Terus?”
“Jadi gini ya. Tolong Jimmy dengerin baik-baik.
Ehem..” Regina, kalau lagi mau cerita suka agak berlebihan dalam memulai. Jadi
jangan pada kaget.
Jimmy menyiapkan pendengarannya untuk cerita Regina
yang selalu “beda”.
Regina lalu mulai bercerita. “Temen ku itu punya
pacar, nah, mereka kan udah pacaran selama 3 tahun. Sama kayak kebanyakan orang
pacaran, hubungan nggak selalu mesti baik kan. Pasti ada berantem, cemburu,
miss komunikasi, dan juga...” Regina menarik napas. “Bosan!”
Jimmy masih memandangi Regina. “Lalu?”
“Tiba-tiba pacarnya temen ku itu suka ngilang-ngilang
gitu. Kadang ada kabar. Kadang sih. Tapi lebih banyak ngilangnya kayak
kebanyakan cowok yang sudah bosan sama ceweknya.” Regina mendengus. Ucapannya
seperti menyalahkan setiap kaum laki-laki yang selalu sama dimata semua
perempuan. Regina melanjutkan. “Aku sama temen-temen ku yang lain bilang ke
dia, kalau dia masih ngilang-ngilang terus. Kenapa sih kok masih mau bertahan.
Kenapa nggak putus aja!” Sekali lagi Regina mendengus. “Eh dia malah nulis
status kayak gitu. Kami sebagai temen kan jadi sedih. Berasa kami nggak
berharga banget diamata dia” Muka Regina memucat, ada kesedihan di matanya yang
selalu ceria.
Pesanan mereka berdua datang. Jimmy dan Regina belum
siap untuk makan sekarang, masih ada yang harus dijelaskan dalam obrolan ini.
Jimmy mencoba menengahi. “Bukannya terlalu ngatur
kehidupan temen kamu, termasuk melanggar ‘hak’ temen kamu untuk bertahan ya.”
“Tapi, kalau dia terus nyakitin temen ku. Apa yang
harus dipertahanin coba?” Regina berkata dengan sewot.
“Coba kalau dia kamu,” Jimmy kembali menengahi. “Aku
tahu Regina sayang sama dia. Bahkan ketika cewek itu Regina, aku bakalan
ngelakuin hal yang sama. Aku bakalan nyuruh kamu buat putus sama cowok kamu
yang ngilang-ngilang itu.”
“Karena Jimmy sayang sama Regina, tapi Regina bodoh
ini yang mau bertahan buat cowok itu?” Regina belum mengerti.
Jimmy menggeleng. “Aku mikir, hidup itu ada dua kali.
Regina tahu?”
“Apa?” sahut Regina cepat.
“Satu ketika dalam kandungan, kedua setelah kamu lahir
di dunia. Sama seperti hubungan yang memiliki kesempatan. Mungkin aja dia
ngilang-ngilang untuk ngumpulin uang supaya temen kamu di syah kan
dalam sebuah hubungan pernikahan.”
“Iya, bisa jadi. Tapi kalau dia selingkuh gimana?”
Regina cemas.
“Regina punya bukti?”
Regina menggeleng. “Enggak.”
“Sampah yang disembunyikan terlalu lama baunya bakalan
tercium juga. Kita tunggu aja. Persepsi kamu, atau persepsi aku yang benar,”
Jimmy menatap Regina.
“Kamu kok malah belain pacar temen ku yang suka
ngilang sih,” Regina menatap Jimmy sinis.
“Haha.” Jimmy tertawa. “Mungkin karena aku cowok. Jadi
kami punya cara sendiri untuk sayang cewek yang kita suka.” Jimmy membela
kaumnya.
“Tapi kan nggak harus ngilang-ngilang.” Regina
mendengus.
Jimmy menyentil tangan Regina. Regina kaget. “Kami
pakai cara ‘beda’ untuk sayang kami yang ‘rasanya sama’ setiap hari,” kata
Jimmy.
“Kalau seandainya temen ku itu tadi aku. Apa bakalan,
Jimmy bisa bilang kayak gitu?” tanya Regina cepat.
“Hmmm.” Jimmy menggeleng pelan. “Aku nggak tahu.
Hilang dari kehidupan kamu pasti bakalan lebih baik. Lagian kamu sudah dewasa,
tahu mana yang baik dan buruk. Tahu yang terbaik untuk diri kamu sendiri. Aku
mau ngejauh dari Regina, karena aku nggak mau terikat sama kamu. Rasanya pasti
menyakitkan kalau Regina sudah punya yang lain.” Jimmy menghela napasnya.
Regina menatap Jimmy. Tatapan itu selalu sama ketika
Jimmy menyampaikan perasaan jujur untuk dirinya. Tatapan Jimmy selau sama,
tidak pernah berkedip, ketika berkata jujur. Selalu ‘sama’ tidak pernah
‘beda’.
“Jadi Jimmy mau ngilang dari kehidupanku walau aku
dapat pasangan yang salah?” Regina bertanya, sambil mencoba menyimpulkan
sesuatu.
“Pasangan itu kamu yang pilih, bukan aku. Regina pasti
punya alasan kenapa Regina milih cowok itu.” Jimmy tetap menengahi. Tidak egois
untuk perasaannya. “Walau sulit, jauh dari kamu pasti lebih baik.”
Regina mengangguk mengerti. Seandainya Regina yang
berada di posisi Jimmy sekarang, pasti Regina akan melakuakn hal yang sama,
menjauhi Jimmy.
“Aku pasti bakalan ngelakuin hal yang sama,” Regina
menatap Jimmy nanar.
Jimmy hanya tersenyum, tanda paham.
Siang itu, dua anak manusia saling menjadi orang lain
untuk tidak egois dengan perasaannya sendiri. Regina tahu, dia harus melihat
dengan cara yang sama seperti Jimmy. “Beda”. Regina tahu, ada sesuatu yang
menjadi alasan, kenapa temannya mau bertahan. Dan Regina tidak tahu itu apa.
Regina lalu mengetik sebuah pesan singkat untuk temannya.
“Maaf nggak bisa menangahi apalagi mencoba berada di
posisi kamu.” Send.
“Aku udah minta maaf ke temen ku,” kata Regina
kemudian.
“Begitu lebih baik,” kata Jimmy. “Kamu juga harus tahu
gimana perasaan temen kamu yang bertahan. Dia sedang meyakinkan dirinya, kalau
pilihan yang dia pilih adalah pilihan yang tepat untuk dia. Regina cukup berada
disampingnya. Sampai teman kamu ngerti.. lalu ngasih tahu alasan, kenapa dia
mau bertahan. Regina bisa?”
Regina mengangguk pelan.
Karena pesanan mereka sudah mulai dingin, Jimmy dan
Regina segera menyantap makanan mereka.
Jimmy menatap Regina sekali lagi. “Jangan pernah
berubah, tetap jadi gadis “beda” dengan “rasa” yang “sama”. Jimmy hanya
membatin.