Gue duduk dilantai,
didepan gue aplikasi MS Word terbuka tanpa tulisan. Masih kosong. Gue mau nulis
apa masih bingung. Dan tiba-tiba atas mimpi buruk hari ini. Gue kepikiran dia,
teman yang sekarang jadi sangat membenci gue atas hubungan yang menurut dia
nggak baik. Sementara gue, tanpa kenal malu, keukuh untuk bertahan.
Dua minggu yang lalu,
atau tepatnya ditengah bulan April 2015. Gue menjadi sangat dekat dengan dia. Sayang,
gue dan dia harus berpisah. Gue terlalu besar kepala. Gue mengira apa
yang gue rasakan juga dia rasakan. Nyaman yang gue rasakan, tidak seperti yang
dia rasakan. Bagi dia, hubungan yang kita jalani itu salah.
Dan gue terlalu
brengsek untuk dia.
Dia adalah teman dari
cewek yang dulunya gue suka. Gue menyerah kepada temannya karena temannya sudah
punya pacar dari awal kita ketemu. Gue nggak mungkin berdoa supaya dia putus
dari pacarnya. Gue nggak sejahat itu.
Lalu dia datang, dimana
dia selalu ngehibur gue. Nggak butuh waktu lama untuk suka sama dia. Ketika gue
butuh bahu untuk cerita, dia ada. Gimana pun gue bercerita, dia selalu mendengarkan
cerita gue dengan ikhlas, tulus. Walau gue nggak pernah tahu, dia nggak nyaman
didekat gue karena dia tahu, gue adalah orang yang awalnya menyukai temannya.
Nggak
bisa ngedektin temannya, bukan berati gue menjadikan dia pelampiasan. Sedikitpun
gue nggak pernah berpikir kalo dia adalah pelampiasan. Karena bagi gue, dia
adalah orang yang sangat gue sukai. Alasan kenapa gue sangat menyukai dia, karena dia menjadi sangat nyaman sekali bagi gue. Dia ngasih gue kenyamanan yang belum
pernah gue terima dari siapapun selama bertahun-tahun ini. Gue luluh. Merelakan hati
gue kepada dia.
Gue jatuh cinta sama
dia. Jatuh cinta sangat dalam
Gue sedang ditegur Tuhan
lewat dia karena tidak bisa menjaga amanat yang dia titipkan.
Gue sadar, usaha yang
gue lakukan untuk mendapatkan hatinya adalah hal paling bodoh. Gue nggak sadar,
kalo dia nggak pernah menganggap gue, karena baginya temannya adalah hal paling
spesial. Sedangkan gue bukan apa-apa. Gue hanya perusak yang datang lalu ingin
merebut hatinya.
Gue nggak menyalahkan
dia yang memilih temannya. Hanya gue aja yang nggak tahu diri, nggak pernah
peduli tentang bagaimana perasaan dia.
Suatu saat nanti ketika dia bersama orang lain, gue pasti akan terluka. Gue pasti akan nangis ngais
tanah, atau mungkin nyayat tangan gue pakai silet tajam. Tapi gue nggak akan
menyalahkan dia. Sedikitpun nggak akan. Karena gue tahu, dia akan lebih nyaman
bersama orang baru yang menyamankan hatinya. Dan gue hanyalan orang usang yang
membosankan.
Bagi dia mungkin gue
adalah hal paling usang, brengsek, kepedean, dan bodoh bagi dia. Jadi bersama
orang lain adalah cara menjauhi orang seperti gue. Gue cukup sadar walau
rasanya sakit sekali. Sangat sakit sampai rasanya ngemis didepan dia bukanlah
jadi hal yang berat.
Belajar dari Nobita di
film Stand By Me Doraemon.
Hati gue jadi hancur berserakan. Kata-kata Nobita membuat gue semakin
tidak bisa tidur pulas, sama seperti catatan ini yang gue tulis pukul 4 subuh. Gue terbangun karena bermimpi buruk. Mimpi jauh dari dia. Mimpi yang mulai dari malam ini hingga seterusnya akan jadi sebuah kutukan karena dia meninggalkan gue. Karena kebodohan gue.
Jika dia nggak bahagia
disamping gue, kenapa gue harus memaksa dia ada disamping gue. Bagi gue dia
adalah hal paling menyamankan. Tapi untuk apa dia tersenyum, kalo hatinya
terluka. Untuk apa dia tertawa seandainya hatinya berduka. Gue nggak mau jadi
sekejam itu. Gue tidak pernah ingin dia mencintai gue karena gue sangat
menyedihkan bagi dia. Walau akhirnya, dia mengasihani gue karena gue memang sangat
menyedihkan. Gue hanya seperti anjing yang berlari ditengah-tengah hujan yang
akhirnya berteduh dirumahnya. Sementara anjing itu dengan tidak tahu diri ingin
tinggal bersamanya.
Gue sangat menyedihkan
sampai diludahipun sangat nggak pantas.
Karena gue sangat
menyayangi dia. Gue akan berdoa untuk kebahagiaannya dengan siapapun
pilihannya. Dan gue hanya harus merelakan. Merelakan seseorang yang sangat gue
sukai. Merelakan seseorang yang sangat ingin gue miliki seumur hidup.
Jujur, gue sangat sayang sama dia. Dia adalah teman terbaik yang membuat hati gue hidup
lagi setelah bertahun-tahun lama sendiri. Gue sangat nyaman sekali sama dia. Bagi
gue dia adalah rumah untuk pulang, rumah untuk bercerita, rumah untuk mengaduh,
rumah untuk tertawa, rumah untuk bersedih, dan rumah untuk berdoa.
Sayang, gue bukanlah
rumah bagi dia untuk pulang.
Semakin bersama dia,
rasanya gue jadi semakin jatuh cinta sama dia. Perasaan kecil yang tumbuh jadi
semakin besar, lebih besar dan terus membesar. Sementara dia, semakin mencoba
bersama gue rasanya jadi semakin sakit. Sama seperti pisau yang dia tusukkan
didadanya saat bersama gue.
Gue jadi sangat jahat
memaksa dia bersama gue.
Gue pasti akan berdosa
dan dikutuk keluarganya karena memaksa dia menyukai gue.
Cukup.
Gue nggak akan membuatnya
terluka lagi!
Ironis. Gue menulis ini
untuk orang yang sangat gue cintai setengah mati tapi dengan ikhlas harus gue
relakan. Hahaha. Tertawa adalah obat paling hebat untuk patah hati meskipun
hanya pura-pura.
Gue meminta maaf atas
semua kesalahan yang gue buat untuk kamu. Gue nggak bisa melihat apa yang kamu
rasakan sekarang. Gue terlalu egois, terlalu serakah sampai gue hanya mementingkan
perasaan gue sendiri. Sementara kamu, harus terluka ngejalani semuanya sama
gue. Dengan semua yang gue lakukan.
Tolong kutuk gue. Sumpahi
gue. Karena cuma ucapan maaf yang bisa gue tulis. Umpat gue. Sumpahi gue untuk
mimpi buruk setiap malam jika seandainya gue berani-berani ganggu hidup kamu dan
teman kamu lagi.
Maaf karena brengsek di depan kamu.
Maaf karena udah ngecewain kamu.
Maaf karena udah ngecewain kamu.
Maaf untuk kebodohan gue.
Maaf untuk semua kesalahan yang gue lakukan.
Maaf.