Rabu, 11 Mei 2016

Kayuhan Sepeda Tua (Part 2)


Tiba-tiba dia mengambil kecap di depannya. Gue menjaga jarak, pikiran gue kemana-mana. Jangan-jangan gue mau di siram pakai kecap gara-gara nembaknya maksa. Uh. Gue menghela napas. Deg-deg kan.

"Huh, hah." Kata dia. "Baksonya pedes." Dia mengalihkan pembicaraan. Gue mendengus.

"Kirain apa!" Kata gue stres sendiri.

Lagi-lagi dan setiap kali gue ngebahas masalah tentang kita, dia masih selalu mengalihkan pembicaraan. Dia masih sama seperti yang dulu. Gue tersenyum pahit.

Selesai makan, kita berdua pulang. Tak ada perpisahan yang romantis, nembak secara maksa buat dia nggak ngaruh. Hati gue berantakan.

Sampai dikosan, gue langsung merebahkan badan di kasur. Bahu gue pegal, otok leher  gue berasa ditarik. Kayaknya kali ini gue emang harus nyerah, gue sudah kehilangan harapan untuk mengejar dia lagi.

Gue akan pindah. Pindah sangat jauh dari hatinya yang dingin.
.
KE ESOKAN harinya gue menjalani rutinitas seperti biasa. Karena gue sedang magang di DPRD Surakarta, gue jadi punya kegiatan sebelum berangkat ngelatih Bulutangkis sore harinya. Orang bilang, cara paling tepat untuk melupakan seseorang adalah mencari kegiatan. Kegiatan yang bisa bikin kita lelah. Kegiatan yang bisa bikin hati kita lelah.

Tentang dia, entahlah, gue sedang gak mau ngebahas tentang dia, gue sedang mencoba menguburnya jauh sampai dasar. Di depan gue mesin foto copyan menyala dengan kertas yang keluar dengan rapi. Temen gue Ali, menepuk pundak gue. "Kenapa lagi? Ngelamun mulu."

"Eh enggak," kata gue sambil membereskan foto copyan yang hampir selesai.

"Gak usah bohong, jujur aja. Masih kepikiran dia?" Tanya Ali sotoy.

"Enggak kok."

"Kalo masih ngejar juga gak papa. La gimana, udah bbman atau teleponan belum?"

"Kontaknya kan masih gue delkon. Instagram juga masih gue blok." Gue menghela napas. Emang sih kami berdua sudah berbaikan. Tapi berbaikan dan jadi teman biasa itu terlalu susah bagi gue.

"Bukannya kalian udah baikan ya?" Tanya Ali, sambil ikut membereskan foto copyan yang harus segera di serahkan ke Ibu Djanti, salah satu orang yang bekerja di DPRD bagian keuangan.

"Udah sih," gue garuk-garuk kepala lalu melanjutkan. "Tapi aneh aja. Kita berdua masih gak bisa pacaran. Dia masih gak enak sama temennya. Setiap gue ngomongin tentang hubungan kita, dia selalu aja ngelak. Gue bener-bener gak paham."

"Semuanya butuh proses kan, Kay." Ali menasehati. "Enggak yang langsung-langsung aja. Dia juga pasti mikir tentang perasaan lo, perasaan temennya dan juga perasaan dirinya sendiri. Jangan dipaksa buru-buru. Kasihan dia juga."

Gue mengangguk pasrah. Ali benar juga, mungkin gue terlalu maksain apa yang gue mau kepada dia, sampai dia bingung harus memberikan jawaban. Gue memaklumi.

"Makasih, Li." Gue menepuk pundak Ali, "Tapi gue juga gak mau nunggu nunggu dan nunggu lagi. Perasaan gue kesepian tanpa dia. Badan gue jalan kemana-mana, tapi hati gue masih sama dia. Kalo dia kembali, gue mau dia jangan pergi lagi." Gue berlalu, dan meninggalkan Ali dengan sebuntal foto copyan yang sudah ditunggu.
.

Bersambung ~ ...
Comments
0 Comments

Tidak ada komentar:

Posting Komentar