September 2015
Beberapa hari ini tulisanku mulai mendayu. Setelah putus dari kamu semuanya mulai berubah. Aku bukan seseorang yang seperti dulu. Karenamu aku menjadi seseorang yang bukan aku. Dibalik tubuh kurus ini tersimpan nama mu. Aku menulis ini bukan meminta belas kasihmu atau rasa ibamu. Aku mencintaimu bukan untuk dikasihani. Aku mencintaimu karena aku belum mau berdamai dengan masalalu. Jadi biarkanlah begitu. Sampai aku putus asa padamu. Biarkan ini berlalu dengan sendirinya.
Rasa maluku memang tak sebesar rasa sayangku. Aku berharap lebih banyak padamu. Menatapmu dari jauh lalu mendoakanmu agar kembali padaku. Entah sampai kapan aku akan jadi manusia pengeluh yang terus menyusahkanmu. Yang aku mau hanyalah kamu. Kamu yang dulu, orang yang masih mau bersamaku. Meskipun kita berdua tahu, salah satu dari kita akan merasakan sakit. Egois, manusia memang seegois itu.
Mungkin kita tidak akan sama seperti dulu. Masa lalu memang hal paling busuk, menyakitkan untuk diingat. Kamu pernah bilang padaku. Kita tidak pernah saling paham. Kita tidak saling mengerti. Percuma kita bersama. Daripada saling menyakiti. Lebih baik kita berhenti usaha dan jalani masing-masing.
Fiuh. Akhirnya aku berhenti melukaimu. Maaf. Tapi aku patah hati. Hatiku tidak sekuat yang kamu pahami. Aku lemah tanpa kamu. Lemah tanpa kebiasan dari kamu. Aku butuh kamu.
Bahuku semakin lama terasa semakin berat. Semakin lama rasanya semakin penat. Aku ingin mundur dan menghajar waktu. Lalu aku bisa berandai-andai. Seandainya aku ketemu kamu dulu. Aku tidak akan sejahat itu.
Lagi-lagi hanya bisa menyalahkan waktu, seperti pecundang yang kehabisan akal. Tak tahu harus kemana. Tak mau tahu untuk berhenti. Kini aku mulai lebih banyak mendoakanmu. Membiarkan semuanya mengalir apa adanya sambil terus mencintaimu tanpa takut sia-sia.