Selamat pagi mungil. Aku menulis ini menjelang subuh kemarin. Dimana bibirku tercekat dan lelah mengeluh, tanganku masih bisa mencurahkan segalanya.
Udara subuh dingin yang penat, membuat mataku masih terjaga. Dari sulitnya tidur sampai mimpi buruk disetiap malam. Pikiranku enggan beristirahat, semua jiwa ini masih memikirkan kamu. Lelah.
Bagaimana harimu? Aku ingin menayakan langsung, tapi entah kenapa tanganku kehilangan keberanian untuk mengirimkan satu pesan. Aku takut kamu acuhkan, aku takut kamu marah, lalu menghilang. Aku pasti kesepian. Lara yang tersimpan pasti akan keluar lewat air mata. Menyedihkan. Semuanya jadi semakin buruk. Aku menjadi takut untuk bertegur salam dan sebagainya.
Rasa takutku sudah sebesar rinduku. Bibir ingin mengucapkan langsung, tapi entah apa yang aku tunggu. Kepastian dan pengharapan. Kepastian pada sebuah kode singkat. Dan harapan kamu akan menjadi kita lagi.
Adzan subuh berkumandang. Dua gelas kopi yang menemani malam tadi telah habis ku minum. Rasa pahit kopinya, sepahit pepatah cinta tak bisa memiliki. Pepatah kuno yang saat ini masih aku bangkang. Aku tidak percaya. Aku masih berusaha.
Aku melihat kesekeliling. Beberapa putung rokok berceceran. Abu bekasnya berhamburan tertiup angin. Lalu aku membakar satu batang lagi. Menemani mata ini yang tak kunjung merasakan kantuk. Di waktu subuh ini, semuanya terasa asing. Kebiasaanku membangunkanmu setiap pukul 5 pagi jadi menghilang. Balasan pesanmu yang menyapa selamat pagi telah tiada.
Aku bingung. Pandanganku kabur. Otak ku tidak sanggup berpikir. Aku ingin tidak menyerah atas kamu. Tapi apa kamu bisa terima? Apa kamu akan paham kenapa aku tidak menyerah atas kamu?