Sabtu, 29 Agustus 2015

Untukmu, Sore Yang Penat,-


Pukul 4 sore, setelah putus semalam.

Di jalan raya yang sesak penuh kendaraan berhias, Sapri terjebak dalam konvoi karnaval. Rasa penat hinggap lalu merangkak kedalam otak, mengganggu pikiran dan mengaduk hati. Lelah, Sapri membatin dengan lemah. Cuaca sore yang panas, menambah beban hati sisa putus semalam. Semuanya terlihat sepi tak bergerak. Tak bersuara. 

Sedikit celah untuk berbelok, Sapri langsung menyalakan lampu sent motornya dan berbelok dengan hati-hati. Di pinggir jalan raya dekat rumahnya, Sapri menemukan adiknya yang paling kecil sedang asik menonton. Tau apalah anak kecil, batin Sapri kesal. Bisanya cuma main-main. 

Wanita paruh baya dengan jilbab warna cream datang menghampiri Sapri yang dari tadi di acuhkan adiknya untuk di ajak pulang. Wanita itu meremas bahunya, pelan, lembut, penuh ke Ibuan. Sapri hening. Matanya menoleh ke belakang. Wanita itu tersenyum kecil. Lalu menatap mata Sapri dalam-dalam. Wanita itu adalah Ibunya.

“Sudah pulang,” katanya halus.

Sapri diam.

“Dirumah ada ayam goreng, kamu makan dulu, pasti lelah.”

Sapri hanya mengangguk dan melajukan motornya. Hatinya sedang bungkam, tak bisa bicara. Entah-lah.

--

Dengan napsu makan yang berkurang, setelah menghabiskan setengah nasi dipiringnya. Sapri melangkahkan kakinya untuk bertemu Malaikat Kecil yang selalu dia ingat kemanapun. Tiba dirumah sepupunya, Sapri menemukan bayi laki-laki menggemaskan berumur 6 bulan sedang duduk manis tanpa pakaian. Badan dan rambutnya masih basah. Jelas, bayi itu baru selesai mandi. Sapri melihat bayi itu dengan gemas, tidak sabar ingin menggendong setelah berpakaian. Mata bayi itu kadang-kadang menoleh ke arah kanan maupun kiri, mencari sesuatu. Sementara Ibunya sedang menyiapkan pakaian dan bedak.



Sapri menggodanya, dengan memainkan tangan mungilnya. Matanya bulat, pipinya bulat, pahanya bulat, badannya bulat. Mirip onde-onde. Ini bayi lucu sekali, batin Sapri yang enggan bicara.

Lalu Ibunya datang, untuk mengeringakan badan dan rambut si bayi dengan handuk kering. Setelah itu, Ibunya lalu mengusap minyak kayu putih hangat, mengusap bedak wangi dengan perlahan, memasangkan popok, lalu memakaikan pakaian. Lengkap. Si tampan Ias siap di gendong oleh Paman. Batin Sapri girang.

--

Di depan rumah. Ias digendongnya dengan erat. Sapri dan Ias seperti berpelukan. Ada hati yang tidak bisa diungkapkan. Mencintai Ias dengan sepenuh hati, menyayangi Ias dengan apapun yang Sapri miliki. Seperti cintanya kepada dia. 

Hening.

Ias kecil tiba-tiba memberontak, entah lapar, entah panas. Suhu sore ini memang panas, sungguh terik. Sampai membuat Sapri berkeringat. Ias tidak betah. Lalu Sapri membawanya ke dalam kamar Ibunya, mendudukkan Ias ke kasur dengan alas tidur bergambar rupa-rupa binatang. Tiba-tiba Ias menarik-narik alas tidurnya dengan gemas, sepertinya Ias tertarik dengan gambar di alas tidurnya. Sapri menidurkan Ias dengan posisi tengkurap. Sapri lalu memperhatikan apa yang Ias lakukan. Lama-lama Ias makin kesal, posisinya tidak enak, napasnya memburu, sedikit sesak, menahan marah.

Sapri membetulkan posisi tidur Ias.

Sapri mengangkat Ias lagi, membopongnya untuk berdiri. Tidak mau. Ias masih ingin setengah tiduran dan mengambil gambar di alas tidurnya. Tidak bisa diambil. Itu hanya gambar, batin Sapri lagi.


Ias masih menarik dan menarik. Tidak bisa. Itu cuma gambar. Lagi-lagi Sapri hanya membatin dan memegang Ias yang masih menarik alas tidurnya. Ias mulai merengek, kemauannya yang kuat tidak mampu membuatnya mendapatkan apa yang dia mau. Ias pun menangis. Menangis dengan suara tangisan yang terasa sesak dan menyakitkan.

Sapri hanya memeluk Ias yang masih menangis. Ias menangis dipelukan Sapri. Mata Sapri ikut berair. Tidak bisa menahan apa yang ia rasakan sendiri. Sapri pun ikut menangis. Sapri bisa merasakan apa yang Ias mau. Kita tidak selalu bisa memaksakan apa yang kita inginkan. Sapri hanya menangis dalam pelukan Ias, dia bersyukur, pernah jatuh cinta oleh gadis itu.
Comments
0 Comments

Tidak ada komentar:

Posting Komentar