Ruang hampa tanpa warna. Sosok mungil itu menyapa gue lagi. Senyum tipis terlihat dibibirnya, tangannya mengayun kedepan, memanggil. Gue berjalan ke arahnya seperti bayi. "Rein..." kata gue pelan. Rein meminta gue duduk didepannya. Gue langsung menyilangkan kaki dibawah lantai. Gue tatap matanya dalam-dalam. Kali ini dia tersenyum hangat.
Gue memeluk Rein erat. Gue percaya, pelukannya dapat menyembuhkan kesedihan. "Tidak apa-apa," Rein berbisik pelan. Tiba-tiba dia mengeratkan pelukannya, gue merasakan sesuatu dipunggu gue. Sesuatu yang menancap perlahan.
Bahu gue tiba-tiba hangat, cairan kental berwarna merah mengucur dari balik bahu. Rasa sakit dan rindu memenuhi setiap helaan napas. Gue tidak peduli bagaimana rasanya. Selama aku bersama kamu. Gue baik-baik saja.
Gue merasakan Rein semakin erat menancapkan benda itu. Cairan kental berwarna merah tumpah ruah ke lantai. Gue tidak merintih. Namun rasa sakitnya semakin kuat. Semakin dalam.
Gue terkulai lemas.
..
Napas gue semakin sesak. Sesak.
..
Paru-paru gue seakan meledak.
..
..
..
Drrrrrrr Drrrrrrr Drrrrrr.
Hhhhh... Mimpi itu lagi. Entah berapa puluh kali dalam dua minggu ini. Setiap hari hanya alarm yang menampar gue secara kasar. Tidak apa-apa Rein, tidak masalah, karena mati di depan orang yang kita sayang tidak lebih menyakitkan dari kesepian. Ini jauh lebih baik Rein, tancapkan saja. Selama aku bisa memeluk kamu lebih erat. Aku tidak apa-apa.