Malam ini, sepasang teman akrab, menepati
janji untuk bertemu di taman. Di dekat kolam ikan, seorang gadis cantik,
berambut panjang, duduk bersantai sambil melemparkan roti sisa yang tidak
termakan ke tengah kolam. Para ikan yang lapar berebut menyerbu roti itu. Gadis
itu pun tersenyum. Sungguh, senyuman yang menawan, seperti jingga di sore hari.
Seperti embun yang menyejukkan.
Namanya Mytha.
Sedangkan laki-laki yang menemani Mytha sedang
membeli minuman hangat.
Hari ini adalah hari terakhir Mytha melajang.
Dan laki-laki yang beruntung, menemani Mytha di pesta perpisahan masa lajangnya
adalah, Sapri. Teman yang sudah lama tidak bertemu. Sapri tinggal di Solo,
sedangkan Mytha tinggal di Jawa Timur.
Selesai membeli 2 gelas milk coffee, Sapri pun berjalan kembali ke arah Mytha yang tengah
menunggu. Dari kejauhan, Sapri bisa melihat Mytha sibuk melempari roti ke dalam
kolam. Hatinya sedikit terenyuh, kakinya berhenti berjalan cepat. Ada rasa
ingin berlari dan meninggalkan Mytha. Tapi ada sesuatu juga yang menahannya. “Ini
adalah hari terakhirku untuk bisa menemaninya. Sekali lagi, dan tidak ada waktu
untuk besok.” Batin Sapri terisak.
Sapri menghela napas panjang. “Eheeem. Itu kan
roti ku. Kenapa semuanya dikasih kan ikan? Kalau aku lapar, Mytha harus bertanggung
jawab.”
Mytha masih tersenyum. “Yaudah, Sapri ikut
nyemplung aja di kolam. Ikut makan bareng ikan. Hihihi.”
Sapri memonyongkan bibirnya, mirip ikan koi
kebanyakan makan sambel. Mytha tertawa kecil.
“Ini minumannya.” Sapri memberikan satu gelas milk coffee panas. “Hati-hati panas.”
Mytha memegang minumannya dengan hati-hati,
terlihat kepulan asap menandakan panasnya milk
coffee itu. Dengan perlahan, Mytha meneguk minumannya. Mytha kepanasan,
bibirya manyun. Sapri cengengesan, tapi matanya melirik leher Mytha yang putih
jenjang. Melirik wajah Mytha yang cantik nan polos. Melirik Mytha-nya yang
selalu menggetarkan hatinya.
Mytha menemukan Sapri yang sedang mengawasi
dirinya. “Makasih Sapri.” Kata-kata itu (‘makasih’ tanpa rasa bersalah) memang selalu
Sapri dengar berkali-kali keluar dari bibir Mytha sejak dulu.
“Sekali-kali Mytha minum dengan pelan. Tidak
cepat-cepat. Itu kan panas, selalu saja tumpah ketika minum. Rasanya masih seperti
anak kecil.” Sapri memberikan tissue.
“Iya-iya maaf. Kita sudah hidup lama sebagai
anak kecil. Kita juga sudah berubah menjadi orang dewasa. Dulu, Sapri bisa tahu
bagaimana tomboynya aku sewaktu kecil. Kita berdua tahu kekurangan, kejelekan,
dan kelebihan masing-masing. Itu semua karena Sapri dan Mytha selalu bersama.
Tidak ada orang yang lebih mengerti Mytha kecuali Sapri.” Mata nanar Mytha
menatap Sapri yang sedang tertegun. Dulu mereka memang teman dekat, kemanapun
selalu bersama. Tapi, keadaan, memisahkan mereka. Sapri harus pindah rumah.
“Mulai besok, akan ada orang yang lebih
mengerti kamu, Mytha,” Sapri hanya bisa bicara dengan hatinya yang kosong.
Mytha menepuk tempat duduk di sampingnya.
Menyuruh Sapri untuk duduk di sebelahnya. Tidak ada kekuatan untuk menolak,
ataupun daya untuk berkata tidak.
“Sapri, apa kita bisa terus bersama seperti ini?”
Mytha menyandarkan kepalanya di bahu Sapri. Sapri tahu, saat ini hatinya ingin
meledak.
“Sepertinya jadi sangat sulit.” Sapri
memandang ke atas langit.
“Kenapa?” tanya Mytha penuh rasa heran.
“Jalan dengan teman yang sudah punya pacar.
Itu masih mungkin bisa terjadi. Tapi, jalan dengan istri orang lain?” Sapri
berhenti bicara, pandangannya kosong.
Mytha langsung merangkul hangat tangan Sapri.
_______
Malam itu, Mytha lah yang mengajak ku untuk
bertemu.
Sejak kami berpisah sangat lama, Mytha meminta
ku untuk datang ke Jawa Timur menemuinya. Aku berusaha untuk datang karena
Mytha memberi tahu, jika 2 hari lagi ia akan menikah dengan seorang laki-laki
mapan yang sudah meminangnya. Saat itu aku masih belum percaya, apabila Mytha
sudah siap untuk berumah tangga. Rasanya baru seperti kemarin kita berdua tidak
bertemu, dan sebentar lagi dia akan menjadi istri laki-laki lain.
Setelah aku bertemu dengannya, aku pun tersadar.
Mytha yang dulu aku kenal memang bertambah dewasa, tumbuh menjadi seorang
perempuan yang siap menjadi seorang Ibu. Menyebutnya seperti anak kecil, adalah
alasan ku bernolstalgia dengannya.
Pulang dari taman, aku masih mengantarkan
Mytha sampai ke rumahnya. Di halaman rumah Mytha yang luas, aku melihat mobil Outlender Sport berwarna putih, terparkir.
Mytha bilang itu adalah mobil calon suaminya. Di saat itu, aku semakin
berkeinginan untuk mengantarkannya sampai ke dalam rumah. Bertemu dengan ke dua
orang tua Mytha, yang sudah aku anggap sebagi keluargaku sendiri. Dan pastinya
bertemu dengan lelaki itu.
Tetapi, Mytha melarang.
Aku mengerti, apa yang Mytha perbuat adalah
benar. Semua akan lebih baik bila begini.
Sebelum Mytha meninggalkan ku, ia memberikan
sebuah senyum perpisahan. Aku melihat matanya yang nanar di terangi bulan. Dari
sini, aku merelakan Mytha dengan hanya melihat punggungnya yang mulai menjauh.
Ada rasa ingin berlari mengejarnya, lalu kemudian memeluknya dari belakang
untuk terakhir kalinya. Walau sebentar.
Tapi, aku terus membiarkan Mytha berjalan dan
meninggalkan aku sendiri. Tanpa berani mengejarnya. Tanpa berani meneriaki
namanya. Atau melambaikan tangan di saat terakhir, berpisah.
Aku memang lelaki yang sangat bodoh.
Di kamar hotel, aku merebahkan tubuhku di
tempat tidur. Merenungi kebodohan ku. Ada sesuatu yang tidak bisa... maksudku, belum
sepenuhnya bisa, aku relakan.
_____
Keesokan harinya, ketika Mytha menikah, Sapri pulang
ke Solo tanpa memberi Mytha kabar.
Hanya sebuah surat kecil yang Sapri berikan
kepada Mytha sebelum mengantarkan Mytha pulang. Sapri meminta kepada Mytha,
agar surat itu di baca seusai ia menikah. Mytha tahu, sedikitpun, Sapri tidak
ingin melihat dirinya menikah dengan lelaki lain.
Mytha membaca surat dari Sapri.
“Happy Wedding My Angel Mytha....
Tak terasa, kamu tumbuh menjadi
seorang gadis super cantik..
Maaf belum melihat mu mengenakan
pakaian pengantin..
Pasti kamu sangat cantik sekali...
Hei, aku tidak sedang membayangkan hal
kotor!!!
Hahaha.. aku hanya bercanda..
Kamu pastilah sangat cantik hari ini..
Hari-hari yang telah lalupun, kamu
sama saja cantiknya..
Jika suatu saat kamu menjadi seorang
Ibu....
Jangan lupa undang aku lagi kesini...
Karena aku akan sangat bangga,
menggendong anak dari perempuan yang pernah aku sukai ketika masih kecil...
Tentunya..
Hingga sekarang ini...
Terimakasih.., untuk waktu bersama
kita yang sejenak,
namun berkesan...
Dari sahabat yang menyayangi mu..
Sapri...”
Mytha tidak bisa menahan air matanya.
Hatinya menjerit pilu.