Sabtu, 25 Januari 2014

Love Is Zero

Sapri telah jatuh cinta kepada Ningsih sejak ia duduk di bangku PAUD. Sayang, sampai Sapri masuk ke Universitas-pun, Sapri engga pernah bisa bilang sama Ningsih kalo dia jatuh cinta sama Ningsih saat pertama kali dia bertemu. Saat itu Ningsih sedang membeli batagor, Ningsih memilih batagor secara anggun. Jangan salah, sewaktu PAUD, milih batagor itu perjuangan. Sapri yang mengamati Ningsih berjam-jam langsung jatuh hati.

Cinta anak kecil memang aneh.

Hal paling bodoh yang dilakukan Sapri adalah; Sapri TULUS, merelakan masa mudanya untuk tidak jatuh cinta kepada siapapun, kecuali kepada Ningsih. Hatinya sudah tertancap disitu, di hati Ningsih yang paling dalam. Walaupun Ningsih engga! Sapri menganggap, itu semua adalah sebuah ketulusan, sebuah keikhlasan untuk mencinta seseorang yang (Sapri harap) akan jadi orang pertama dan terakhir untuk dirinya. 
Itu cuma alibi! Sapri sebenarnya nggak laku!

Sapri dan Ningsih berkuliah di Universitas yang sama. Kampus mereka membagi 2 asrama.  Asrama putra dan Asrama putri. Jarak keduanya tidaklah jauh. Mahasiswa, hanya boleh pulang ketika libur semester. Maklum, pemerintahlah, yang membiayayai semua Mahasiswa yang berkuliah di Universitas ini.

Malam ini adalah tahun kedua Sapri berkuliah. Biasanya, sebelum menempuh semester baru, banyak Mahasisiwa yang berkencan dengan pacar atau teman-temannya untuk berkaraoke. Karena penat, Sapri akhirnya ikut menemani kawan sekamarnya karaokean. 
Sapri nggak sadar, bahwa malam ini, Semesta akan berkonspirasi untuk mempertemukan cinta pertamanya.

Ya, Ningsih.

Ditempat lain. Ningsih yang juga jomblo, tidak menolak untuk diajak pergi bersama temannya. Ningsih juga penat di kamar. Ningsih dan Sapri nggak tahu, selain Semesta yang berkonspirasi, gue sebagai penulis juga ikut andil, supaya mereka berdua di pertemukan ditempat karaoke.

“Makasih!” kata Sapri kepada gue.

“Oke, Pri.. lanjutkan.”

Jreng-Jreng..

Sapri Dan Ningsih bertemu pada malam itu.

Ningsih Paramita Minarsih.
Ningsih tumbuh menjadi seorang wanita yang sangat anggun, lebih anggun dari pada saat dia memilih batagor sewaktu kecil. Karir Ningsih di Kampus juga sangat baik. Ningsih selalu terpilih menjadi perwakilan kampus untuk mengikuti pertandingan menari. Menari adalah bakat yang dimiliki Ningsih sejak kecil. Dua bulan lagi Ningsih juga akan mengikuti lomba menari. Ningsih adalah wanita yang cukup populer. Sampai-sampai, banyak Mahasiswa dari Kampus lain mengincar Ningsih.

“Gue nggak bakalan kalah,” batin Sapri semangat.

“Bukan sekarang!”

“Maksudnya?”

Sapri Ahmad Sutoyo.
(Sapri adalah makhluk megantropus yang biasa ngobrol sama gue dicerpen ini. Jadi kalo gue sama Sapri ke asikan ngobrol dan ganggu kalian. Gue mohon maaf sebesarnya). Berbeda dengan Sapri. Sapri yang hidup sederhana malah suka berteman dengan Abang tukang bakso, Abang tukang Siomay, Abang-abang es dawet, Abang tukang becak dan masih banyak lagi kaum bawah yang menjadi teman Sapri. Bukannya Sapri miskin atau enggak populer. Bukannya Sapri ingin makan dan minum gratis atau numpang nebeng secara terus menerus. Tapi... Itu semua karena Sapri percaya, ketika teman-temannya sukses nanti. Dia adalah orang pertama yang akan membeli saham-saham mereka. That’s cool Man...

------

Malam semakin larut. Sapri harus menerima nasib dengan melihat Ningsih bernyanyi bersama laki-laki yang baru dia kenal. Sapri tahu, satu hal yang nggak bisa dia imbangi. Tampang laki-laki itu lebih keren dari tampangnya. Sakit memang, tapi, Sapri tahu, laki-laki itu bukanlah laki-laki baik. “Padahal Indra udah punya cewek!” batin Sapri, kesel.

Indra Sudiro.
Indra adalah cowok yang pernah jadi teman satu sekolah Sapri sewaktu SMA dulu. Wajah Indra tampan, body-nya berotot, anak orang kaya. Bapaknya jualanan tempe sampai ke Jepang. Ibunya punya pabrik kecap terkenal. Indra memang sangat kaya. Apapun dia punya. Mulai dari apartemen mewah, mobil mewah, tamaghoci mewah, yoyo mewah, apapun serba mewah. 
Sedangkan Sapri, dia hanyalah pembeli saham es dawet. Jauh. 
Dengan hati yang remuk.  Sapri menyanyikan sebuah lagu.
Matamu stereo
Lihat ke kiri ke kanan
Apalagi menawan
Pasti bakal kebobolan 
Tapi ada satu
Hal yang harus kamu tahu
Wanita juga tak mau
Bila terus-terus kau tipu 
Satu pasangan tak cukup
Dua simpanan juga tak cukup
Emang dasar, ah emang dasar
Eh dasar kau bajingan 
Kamu mau apalagi
Kamu mau yang gimana lagi
Ah emang dasar, emang dasar
Eh dasar kau bajingan!

Merasa terusik dan nyadar kalo lagu ini ngena banget sama sifat aslinya. Indra sengaja ngajak Ningsih pergi meninggalkan acara ngumpul-ngumpul. Indra udah ada niat nggak baik...

“Maksudnya niat nggak baik gimana?” tanya Sapri kepada gue.

“Bawel lu. Kalo gue kasih tahu sekarang nggak bakalan seru!”

“Ah pelit!”

“Ye, kuya! Gue ganti lu jadi pemeran pengemis. Mauk?!”

“Ampun Bos-Ampun!” Sapri nyembah kaki gue.

“Udeh! Diem..”

-------

Acarapun selesai. Sapri pulang dengan langkah gontai.

Ditempat lain. Ningsih dan Indra sedang bergandengan tangan, jalan berdua. Langit juga penuh bintang, membuat pasangan baru ini semakin romantis. Malam ini, Ningsih merasakan, hangatnya cinta sesaat diantara mereka. Indra lalu berhenti disebuah hotel tua. Hotel yang bisa dikatakan adalah tempat + + (baca: plus-plus/esek-esek).

Ningsih kaget!

Tapi, sekalai lagi. Indra adalah playboy berdarah dracula yang pintar menghipnotis mangsanya. Dengan sedikit tatapan dan sentuhan hangat. Indra berhasil menyakinkan Ningsih untuk menginap di hotel ini. Berdua. Malam ini. Sekamar.

SENSOR!

--------

Keesokan harinya. Setelah selesai melakukan. Indra berkata. “I love you. Percaya padaku. Aku pasti selalu ada buat kamu.” Indra mencium kening Ningsih dengan lembut. Tersenyum licik. Rasa perawaan memang beda, batinnya keji.

Ningsih membalas. “Ayo kita pulang.”

Indra mengantarkan Ningsih sampai di asramanya.

Sapri melihat Indra dan Ningsih keluar dari Hotel Cinta.

“Lu bilang mau jagain Ningsih?” protes Sapri ke gue. “Tapi kenapa lu biarin Indra kurang ajar sama Ningsih!!! Kenapa?!”

“Sorry. Tapi...“ Gue tepuk pundak Sapri. “Sekarang giliran lo!”

“Maksudnya?”

--------

2 bulan kemudian.

Dua minggu sebelum kompetisi menari tahunan.

Ketika Ningsih berlatih, Ningsih merasakan nyeri tak tertahankan di bagian perutnya. Bukan! Ningsih bukan kebelet boker atau salah makan. Ningsih lalu, izin kepada mentor menarinya untuk pergi ke Dokter. Belakangan ini Ningsih juga sering muntah-muntah. Perutnya sering mual.

Di dalam ruangan Dokter. Dokter berkata. “Selamat, usia kandungan Anda sudah memasuki dua bulan.” Dokter tersenyum. “Kalo boleh tahu. Lalu dimana Ayahnya?”

Ningsih malah nangis. Dokter dan Suster menepuk bahu Ningsih. Menenangkan. Mereka semua tidak tahu, apa yang sebenarnya terjadi kepada Ningsih. Anak ini, belum mempunyai Ayah yang pasti.

Ningsih berjalan dengan gontai. Air matanya masih mengucur deras. Kalo Jakarta banjir. Ini semua bukan salah Ningsih. Ningsih pergi ke arah apartemen Indra. Dia menjelaskan kepada Indra apa yang sedang terjadi. Ningsih menangis, tidak beraturan. Isak tangis yang memilukan.

Ningsih adalah anak pertama dan satu-satunya. Dia adalah seorang anak yang selalu di banggakan kedua orang tuanya karena prestasinya menari. Namun, sekarang, Ningsih telah membuat semuanya berubah. Berbeda. Dan tidak akan pernah lagi sama. Ningsih telah bertindak bodoh. Cinta, menutup matanya. Cinta, membutakan mata Ningsih. Cintanya, membodohinya.

Dengan santai, Indra memberikan Ningsih sebuah ATM.

Ningsih menatap tidak mengerti.

“Gugurin,” jawab Indra. Cuek. “Gugurin sebelum kandungan kamu semakin besar. Aku belum siap jadi seorang ayah.”

Mulut Ningsih menganga. Ada sesuatu yang ingin segera iya muntahkan tepat di muka Indra. Kekasihnya yang bajingan. Ningsih menampar pipi Indra dengan keras. Dua kali. Tepat di sebelah kiri dan kanan. Ningsih mengambil ATM yang masih Indra pegang. Mematahkannya menjadi 4 bagian. “BRENGSEK!” umpat Ningsih yang langsung berjalan keluar apartemen. 
Indra cengengesan.

Ningsih berjalan sambil menangis. Dia sadar akan kebodohan yang telah ia perbuat. Bodoh bodoh bodoh. Umpatnya dalam hati. Sekali lagi Semesta berkonspirasi. Ningsih berhenti di Indomaret tepat Sapri sedang bekerja paruh waktu. Sapri adalah anak mandiri yang harus mencari uang jajannnya sendiri.

Sapri melihat Ningsih menangis.

“Kamu kenapa?” tanya Sapri kepada Ningsih. Sapri membawakan sebuah air mineral dingin. Memberikannya kepada Ningsih. “Minum dulu..”

Gleg-gleg-gleg langsung habis. Sapri terperanjat. GILE, Ningsih mirip unta. Minumannya langsung habis. Ningsih kehausan, dia sudah mencoba mengeluarkan banyak tenaga untuk membuang semua emosinya.

“Kamu bisa bantu aku sekarang?” tanya Ningsih cepat.

“Bantu apa?”

“Bisa enggak?!” bentak Ningsih.

“O-oke bisa?!”

Sapri nggak banyak mikir, mungkin ini adalah kencan kebut. Batinnya.

--------

Di depan rumah Dukun Beranak. Ningsih langsung bertekad untuk menggugurkan kandungannya saat ini juga. Ningsih nggak mau keluarganya tahu. Ningsih nggak mau bapak ibunya sedih. Sapri yang nggak tahu apa-apa gemeteran nungguin Ningsih di ruang tunggu. Baru sekali diajak kencan, eh, beloknya ke Dukun beranak. Batin Sapri campur aduk. Bingung, mau sedih apa seneng.

Setelah menjelaskan panjang lebar. Ningsih langsung di operasi dengan cekatan oleh dukun beranak yang sudah terkenal melalui akun Twitter, Facebook, dan Instagram-nya. Hampir seluruh Dunia tahu, kalo Dukun Beranak di Indonesia sangatlah terkenal.

2 jam kemudian.

Ningsih berjalan keluar dengan lemas. Dia di bopong oleh ajudan Dukun Beranak, menghampiri Sapri. Sapri bergegas menangkap Ningsih yang hapir terjatuh. Wajahnya pucat. Bibirnya pecah-pecah. Sapri mikir, apa mungkin Ningsih panas dalam. Ah engga mungkin. Kalo panas dalam, kenapa harus pake teriak-teriak pas di dalam sana! Terlalu banyak mikir. Sapri langsung membawa Ningsih ke rumah sakit terdekat.

Di rumah sakit. Sapri menemani Ningsih yang terbaring lemas di dalam ruangan rawat inap. Sampai tiga hari kedepan Sapri masih setia nunggu Ningsih. Sapri juga menyuapi Ningsih makan. Mengelap semua keringatnya. Dan sebisa mungkin mencoba menghiburnya. Walaupun sebenarnya, Sapri ngerasa berat hati melihat kondisi wanita yang ia cintai lemas tak berdaya.

Saking harunya, Ningsih tiba-tiba menangis. Ningsih berpikir. Kenapa dia tidak melihat Sapri sejak dulu. Kenapa cintanya hanya dibutakan oleh sedikit rasa nyaman yang menyakitkan. Apa cintanya tidak dapat melihat dengan jelas. Mana sosok yang benar-benar anggun untuk dimiliki. Selamanya. Bukan sesaat ketika kenikmatan adalah sarana portitusi dari cinta. 
Ningsih semakin sadar dan terus menangis.

Sapri bodoh tiba-tiba ikut menangis. “Nggak. Gue engga boleh sedih di depan Ningsih. Gue harus tegar. Gue harus terus ngasih dia semangat. Gue harus menghibur dia. Apapun itu! Apapun itu” Tekad adalah salah satu kekuatan manusia. Apalagi yang di dalamnya terdapat cinta sejati.

Sapri mengelap air matanya sebisa mungkin. “Kamu tahu, kenapa cowok benci ngeliat cewek nangis?” tanya Sapri ke Ningsih. Sapri malah ngajakin main tebak-tebakan. 
“Enggak tahu?” Ningsih menjawab sambil mengelap air matanya.

Sapri bilang. “Karena.. cewek jelek kalo nangis. Hehe.” Sapri ketawa. Godain.

Ningsih cemberut, tetapi tertawa hebat setelahnya. Sapri berhasil melebarkan senyum Ningsih. Senyum yang bukan miliknya, tapi ada buatnya.

------ 
2 minggu berlalu. Kompetisi menari dimulai.

Ningsih dengan sekuat tenaga menari dengan bahagianya. Setelah Sapri mencoba untuk melarang Ningsih menari, akhhirnya Sapri pasrah. Memperbolehkan Ningsih menari. Sapri tahu, kalo Ningsih belum sembuh total. Tapi. Hati Sapri harus rela, karena dia tahu, kebahagiaan Ningsih adalah kebahagiaannya.

Di bangku tribun paling depan, Sapri hanya melihat Ningsih, dengan tatapan haru. Memberikan dukungan. Ini kali kedua Sapri menangis melihat wanita yang ia cintai dapat menari lagi dengan gemulai dan indah.

Ningsih melihat si bodoh Sapri.

Sudah dua dua minggu ini dia di asuh, di temani, dan di rawat oleh Sapri. Ya, cinta adalah asuhan tangan Tuhan. Itu untuk mereka yang tahu. Tuhan selalu mengasuh semua orang, tidak ada perbedaan, sama kasih. Dan Sapri adalah manusia yang dikirim Tuhan buat Ningsih untuk mengisi kekosongan hidupnya. Dimanapun Sapri, ia selalu setia disini. Di samping Ningsih. Selalu ada. Menemani. Menjaganya.

Ditengah tarian. Ningsih ikut menangis.

Selesai menari, Ningsih langsung berlari ke arah kamar mandi. 30 menit berlalu. Ningsih masih saja berada di kamar mandi. Dengan cepat Sapri masuk ke dalam kamar mandi perempuan. Dia menemukan Ningsih dalam keadaan terkulai lemas. Penuh dengan darah. Ningsih bilang. “Aku pendarahan.”

Panik.

Sapri mengangkat. Menggedong Ningsih dan berlari sekencang mungkin menuju ke Rumah Sakit terdekat sambil berteriak. “Bertahanlah. Jangan mati. Jangan mati. Aku mencintaimu. Bertahanlah.. karena aku menyayangimu. Aku mohon bertahanlah.” 
Padahahal Ningsih pingsan.

Sesampainya dirumah sakit, Ningsih langsung dibawa keruang UGD. Sapri menunggu dengan setia. Menunggu, dan lagi-lagi cuma mewek. Baru kali ini Sapri jadi cengeng dan rapuh. Serapuh batang sereh yang sebentar lagi masuk ke dalam wajan penggorengan. Dia berteriak dan melumuri pipinya dengan air mata. Suster menggeleng hebat.

Sapri berjalan ketempat dimana semua teman-temannya merayakan kemenangan atas lomba menari. Bukan!!! Ningsih nggak menjadi juara, jadi ini bukan perayaan untuknya. Melainkan ini adalah perayaan untuk pacar barunya Indra yang juga ikut kompetisi menari. Ya, sebelum sama Ningsih Indra memang masih punya pacar. Dan pacarnya juga adalah atlet menari. Sapri buta. Dia melihat Indra dengan tatapan yang luar biasa bencinya. Maha dahsyat marah. Murka. Sekarang saatnya dia belajar, batin Sapri. Ngamuk.

Sapri berlari. Ia langsung memukul Indra di tengah kerumunan. PANG-PUNG-PANG-PUNG “Dasar brengsek! Keparat! Kuda liar! Kambing jantan! Manusia Setengah Salmon! Marmut Merah Jambu!” Semua nama buku Raditya Dikka dia ucapin. Sapri emang gendeng. Bisa-bisanya salah mengumpat. Dasar.

Sapri masih melanjutkan. “Cinta itu buka permainan bodoh!!! Sekarang Ningsih sekarat. Ia sedang dirumah sakit karena kelakuanmu yang tidak bertanggung jawab! Dia pendarahan karena menggugurkan anakmu bajingan.” Semua orang menganga.  PANG-PUNG-PANG-PUNG. Sapri masih aja mukul Indra. Tangannya penuh dengan darah.

Pasrah, dengan perasaan mau tidak mau. Indra akhirnya mau menjenguk Ningsih di rumah sakit. Dia ingin meminta maaf atas segala kesalahannya.

Tapi Sapri tidak ikut.

Dia menghabiskan waktunya untuk sendiri. Jika ia mampu menggantikan semua luka Ningsih, maka Sapri akan menggantikan Ningsih. Tapi Sapri sadar, kalo cowok nggak bisa pendarahan kecuali setelah di tusuk pisau. Sapri menelan ludah. Dongo.

“Jadi manusia bego amat sih lu Pri?! Udah gitu cengeng lagi!”

“Maaf komandan. Gue lagi terharu,” jawab Sapri.

“Iyadeh lanjutin meweknya.”

Sapri makin kenceng nangis.

-----

Satu bulan kemudian.

Kondisi Ningsih kini mulai membaik dan hampir dalam kondisi sembuh total. Ningsih ingin menemui Sapri yang sedang berada di kantin kampus. Ningsih tahu Sapri ada di kantin karena Sapri habis update status lewat 4Squere.

Ada perasaan malu dan bahagia ketika melihat wajah Sapri belepotan sambel. Sapri mempersilahkan Ningsih duduk. Teman-teman Sapri minggat. Sapri stay cool. “Terimakasih kamu telah menjagaku disetiap malam yang aku lalui dengan rasa takut. Terimakasih untuk semua waktu yang kamu berikan untukku. Dan terimakasih telah melindungi ku, disaat aku hanya bisa terbaring lemas tak berdaya. Sekali lagi terimakasih,” kata Ningsih.

“Terimakasih juga telah datang untuk menemui pria bodoh yang mencintai wanita sesempuna dirimu. Terimakasih karena kamu nggak pernah marah dan mengeluh atas segala kelakuan bodoh ku. Terimakasih karena kamu memperbolehkan aku untuk menyentuh tanganmu disaat kamu ingin berdiri. Sesungguhnya, tanganku hanyalah kotoran dan noda yang akan mengotori dirimu. Terimakasih juga karena kamu memperbolehkan aku datang untuk menjenguk kamu setiap hari. Setiap waktu. Disamping kamu. Aku sering memasakkan makanan yang sama sekali nggak enak dan mungkin nggak ada rasanya. Tapi kamu masih mau memakannya.” Sapri menghela napas panjang. Menatap Ningsih penuh arti. “Nggak ada lagi yang dapat aku berikan selain waktu dan perhatianku buat kamu. Aku cuma manusia biasa. Sama hinanya dengan yang lain. Tidak ada kata sempurna. Sekali lagi maaf.”

Ningsih memeluk Sapri. Hangat.

Sapri mulai kurang ajar dengan memonyongkan bibirnya.

“STOP! Lu mau gue jadiin pengemis ya?! Ini di kantin. Dasar buaya Afrika. Nggak jauh beda lu sama Indra. Suka nyari kesempatan.”

“Maaf bos. Waktunya pas banget ini.”

“Lu monyongin lagi bibir lu. Gue sambit bibir lu make pisau cukur ketek! Ayo!”

Sapri nggak berani. Bibirnya langsung ia katupkan. Manyun.

345 hari kemudian, Sapri baru berani nembak Ningsih. Sapri baru berani bilang sama Ningsih ketika teman-temannya bilang kalo Ningsih akan pindah ke kampus lain tahun depan. Teman-teman Ningsih dan teman-temannya Sapri udah sekongkol untuk ngebuat mereka berdua jadian. Ya, endingnya cukup mengharukan. Setelah sekian lama Sapri memendam perasaanya. Akhirnya mereka berdua bisa pacaran. Gak ada yang nyangka. Bahkan gue sebagai penulisnya, gak nyangka kenapa Ningsih bisa mau sama Sapri. Hahaha. Cinta itu konyol.

TAMAT.

----- 
Baru kali ini gue kepingin jadi manusia yang mirip Sapri.

“Thanks Bos..”

“DIEM LU!!!”

“. . . .”

Oke gue ulangi. Baru kali ini gue ingin menjadi seorang Sapri. Sapri mengajari gue untuk menjadi bodoh demi mencintai sesuatu yang benar. Sapri membuat gue sadar. Dalam cinta, menerima itu lebih berat dibanding memberi. Sapri harus menerima keadaan Ningsih yang luar biasa lemah. Sedangkan Ningsih hanya memberikan sedikit sisa hidup yang ia punya untuk Sapri. Sapri punya nyali besar untuk jatuh cinta kepada Ningsih. Ya.. orang-orang yang bernyali besar saja yang mampu jatuh cinta. Dengan siapapun itu. Dengan ketulusan itu. Tanpa Pamrih. Tanpa keinginan lain selain kebahagiannya.

Kali ini gue mau Sapri sendiri yang ngomong. Capek gue ngetik terus.

“Oke Bos, makasih atas waktu yang sudah Bos kasih. Gua mau kalian semua tahu. Kadang, cowok nangis bukan berati ia cengeng, melainkan ia hanya mengeluarkan semua beban dan rasa sakit yang berada didalam dihatinya.”

“Kalo itu cuma alibi lo doang kampret!”

“Hehehe. Maaf Bos. Gua lanjutin ya.”

“Awas lo kalo alesan lagi!”

Sapri melanjutkan. ”Cinta yang meneteskan air mata adalah sebuah perasaan yang jarang dimiliki seorang pria, bahkan mungkin perasaan ini hanya dimiliki wanita. Kalian adalah manusia paling beruntung jika ada orang yang ikhlas menangis demi kalian. Dan kalian sedikitpun nggak tahu alasannya. Kenapa dia bisa menangis. Dan yang paling mengharukan dari cinta itu sendiri adalah ia mampu menerima segala kekurangan. Cinta itu apa adanya, bukan ada apanya. Ya, Love is Zero. Cinta itu nol. Cinta itu kosong. Nggak ada apa-apanya. Kecuali untuk hati yang ikhlas menerima. Kita bisa ngebuat cinta kita sendiri karena cinta itu kosong. Love is Zero. Tuhan sudah memberikan kita kenikmatan untuk membuat cinta kita sendiri yang kosong. Jadi kita bisa mengisi segala hal yang kita mau. Apapun yang kita mau. Mulai sekarang, jangan pernah.. pernah.. pernah takut untuk jatuh cinta kepada siapapun. Karena kata Bos gue, dibutuhkan nyali besar untuk jatuh cinta. Sekian.”

“Thanks Pri..”


Comments
0 Comments

Tidak ada komentar:

Posting Komentar